Sabtu, 28 November 2009

Simfoni Mozart: Sebuah Ritme Konflik Abadi

Judul : Mozart: Simfoni Hidup Sang Maestro Judul asli : Mozart Penulis : Peter Gay Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : I, April 2005 Tebal : 236 hal +viii Diantara para maestro musik klasik, nama Mozart tentunya sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang. Mozart adalah salah satu icon musik klasik abad pertengahan, disamping terdapat juga nama Johann Christian Bach, dan Beethoven, yang sangat berpengaruh pada perkembangan musik kontemporer dewasa ini. Karya-karya Mozart, sebagian besar berupa simfoni dan opera, diakui memiliki cita rasa dan daya kreativitas yang tinggi. Bahkan, ada banyak hasil penelitian mutakhir yang mengakui “keampuhan” musik Mozart dalam menstimuli perkembangan kecerdasan intelektual dan emosional manusia. Sebagian besar penikmat musik klasik, menilai Mozart adalah gambaran kesempurnaan sebuah aktualisasi diri yang meletup-letup yang menghasilkan simfoni-simfoni menawan dan opera-opera yang membius. Dalam umurnya yang relatif singkat, ia telah banyak menghasilkan komposisi seperti konserto, sonata, musik kamar, opera-opera, hingga musik misa. Suatu tingkat kesempurnaan, atau boleh disebut bakat Ilahi, yang hanya bisa ditandingi oleh sedikit komposer. Tak aneh bila sepanjang ritme kehidupannya menjadikan ia laiknya seorang selebriti yang tentu saja tidak terlepas dari cerita-cerita tak jelas, sebuah citra yang penuh rumor, bahkan cenderung mendramatisir. Upaya-upaya ilmiah para penulis biografi modern tidak juga mampu menepis citra yang selalu muncul di benak para penggemar musik ketika mendengar nama Mozart disebut. Mozart dewasa yang masih bersifat kekanak-kanakan, maestro yang begitu memesona sehingga tak perlu mempertanyakan kredibilitasnya, seorang komposer sempurna yang tak perlu merevisi satu nada pun dalam karyanya, hingga isyarat kematiannya yang tersimbolkan lewat lagu kematian (requiem), dan seorang gelandangan yang ketika mati dikubur di pemakaman orang-orang miskin. Ilustrasi kehidupan Mozart di atas kebanyakan lebih merupakan distorsi ketimbang keterangan yang dibuat-buat. Sebanyak rumor yang melingkupi sang genius, banyak penggemarnya menuntut agar tokoh dengan bakat luar biasa ini, menjalani hidup yang luar biasa pula, penuh peristiwa-peristiwa penting dan dramatik, dan tentu saja prestasi gemilang yang tak tertandingi, bahkan tak terbayangkan oleh orang awam. Namun, kehidupan musik Mozart telah cukup mengagumkan tanpa perlu diimbuhi keterangan-keterangan palsu, reputasinya sebagai seorang genius tak kan tergoyahkan oleh fakta-fakta remeh. Mozart adalah seorang genius, sebuah predikat yang tak mungkin ditolak oleh penulis biografi paling objektif manapun. Bahkan komposer kenamaan pada jamannya, Joseph Haydn, menyebutnya sebagai komposer terbesar layaknya intan permata. Beethoven pun pernah menyanjung karya-karya Mozart sebagai tak tertandingi. Dilahirkan pada 27 Januari 1756 di Salzburg, Austria, Wolfgang Mozart adalah anak ketujuh (bungsu) dari pasangan Leopold dan Anna Maria. Lima saudara kandungnya meninggal semasa bayi, dan hanya seorang kakak perempuan yang berhasil hidup. Nannerl, biasa dipanggil, empat tahun lebih tua dari Mozart. Ayah Mozart, Leopold, adalah seorang musisi profesional yang berpendidikan tinggi. Bekerja sebagai violis dan asisten konduktor pada pangeran-uskup di Salzburg. Latar belakang keluarga yang pencinta musik (lebih tepatnya talenta sang ayah), membuat Mozart lebih “cepat” menemukan bakat besarnya. Mozart memulai pendidikan musiknya di rumah. Ketika sang ayah mengajari Nannerl, sang kakak, cara bermain harpsichord (sejenis piano), Mozart usia tiga tahun, terdorong untuk mencoba instrumen ini sendiri. Bahkan buku catatan berisi lagu-lagu sederhana yang sedianya dimiliki Nannerl, segera saja berpindah kepemilikannya ke Mozart kecil. Setelah berusia lima tahun, Mozart melakukan sebuah lompatan tak lazim, dari pemain musik menjadi pencipta musik. Menjelang tujuh tahun, ia sudah mahir memainkan biola. Bahkan menulis sonata-sonata yang diiringi biola, harpsichord, dan instrumen lain, dicapainya saat belum genap delapan tahun. Sebuah prestasi yang tak biasa yang begitu luar biasa yang tidak mungkin dilakukan oleh anak seumur pada jamannya. Dengan memakai simfoni yang ia buat pada usia tujuh tahun, Mozart memulai debut perdananya dalam penulisan opera La finta semplice, saat ia berusia dua belas tahun. Baru pada 1773, Mozart yang berumur tujuh belas tahun, telah menggubah lebih dari dua puluh enam simfoni, dan disinilah kegeniusannya sebagai komposer musik tampak. Nomor 29 dalam A Mayor (K.201), yang kaya materi tematis orisinal, merupakan sebuah karya yang monumental yang hingga detik ini dikenal dengan baik dalam repertoar orkestra modern apa pun. Namun, dibalik kegeniusannya, ada semacam keraguan untuk mempertanyakan orisinalitas improvisasi dan komposisi musiknya, bahkan tentang kehidupan sang maestro yang dianggap tidaklah seindah simfoni ciptaannya. Ada nuansa suram yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan penuh ketenarannya. Melalui buku ini, Mozart: Simfoni Hidup Sang Maestro, Peter Gay, sejarawan dan penulis yang pernah memenangi penghargaan National Book Award, mencoba menunjukkan kepada kita sisi lain Mozart apa adanya. Mozart dalam usianya yang relatif singkat telah menghasilkan begitu banyak karya, sebanyak pujian dan ketenaran yang didapatnya, adalah seorang anak yang haus kasih sayang. Sekalipun bersama kedua orangtuanya, kakaknya, dan menjadi pusat perhatian saat ia mengadakan tur-tur konsernya dari London, Wina sampai Milan, ia tampak kesepian dan merana. Meskipun ia mendulang sukses yang berimbas pada kondisi keuangannya, namun tidak diimbangi hubungan baiknya dengan sang ayah. Ayahnya dikenal terlalu menuntut, egois dan cenderung turut campur segala urusan anak-anaknya. Penerimaan yang kurang Leopold terhadap istri Mozart, bahkan terhadap anak-anaknya, adalah bukti ketidakpedulian sang ayah yang disatu sisi begitu mengelu-elukan kehebatan Mozart. Dominansi Leopold terhadap Mozart, berimbas pada gaya hidup sang putera yang memutuskan tinggal di Wina. Tampaknya konflik sepanjang hidup dengan ayah kandungnya adalah pemantik dari segala “kegagalan” jalan hidup sang genius ini. Pertentangan psikologis ini berujung pada penolakan Mozart terhadap “nasihat-nasihat” sang ayah. Mozart cenderung menghamburkan uang hasil konsernya untuk memenuhi standar gaya hidupnya yang boros, tetapi sedikit untuk urusan sehari-hari keluarganya. Agaknya masalah materi menjadi persoalan penting dan “kemiskinan” materilah yang membuat Mozart menderita sekali. Ia terjerat hutang, mengubah Mozart menjadi sosok yang patut dikasihani. Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, lewat surat-suratnya pada teman-temannya, ada indikasi ia mengalami stres yang membuatnya terpuruk tak berdaya, yaitu hancurnya kepercayaan diri. Mozart mengalami “kemurungan jiwa yang mengenaskan”. Kepergian sang ibu yang kemudian disusul sang ayah, guru sekaligus “musuh utamanya” untuk selama-lamanya semakin membuatnya depresi. Hebatnya, meskipun tercabik-cabik oleh kesengsaraan dan dihantui oleh “pikiran-pikiran buruk” (mengidap paranoia), daya cipta Mozart tak pernah surut. Justru pada masa ini, karya-karya terbesar Mozart lahir dan semakin mengukuhkan kepiawaian dan eksistensinya sebagai komposer. Daya kreatif Mozart yang menggebu, agaknya disulut oleh konflik intern ayah dan anak. Jika benar demikian, lalu bagaimana sang maestro ini “menjembatani” konflik yang ada dengan kreativitas bermusiknya? Dengan semangat dan sentuhan cerdas dalam opera-operanya memperlihatkan bahwa perseteruan antara seorang ayah (atau figur ayah) dan seorang anak (biologis atau psikologis) telah mendorong Mozart untuk mengolah implikasi-implikasi dari konflik tersebut. Ciri-ciri figur ayah dalam naskah-naskah operanya yang ia terjemahkan ke dalam musik sangat bervariasi, kerap kali seorang ayah dijadikan sosok ideal, tetapi dalam kesempatan yang lain dihinakan, dikalahkan, atau digambarkan suka merusak diri sendiri. Akhir kehidupan Mozart, seperti awalnya, berkembang menjadi suara-suara sumbang yang tak berkesudahan. Kecepatannya dalam berimprovisasi yang lebih menggila di tahun terakhirnya, adalah sebuah tanda tentang suasana batinnya. Ada bukti kuat bahwa ia memanfaatkan aktivitas menggubah musik sebagai obat pengurang rasa sakit, sebagai obat atas kesedihannya dan penderitaannya dalam kesendirian di tengah gegap gempita ketenarannya. Isyarat kematiannya oleh kebanyakan penulis biografi, dihubungkan dengan karya terakhirnya, menggubah misa kematian (requiem), meskipun tak terselesaikan. Namun ini sudah dianggap sebagai petanda bahwa sang maestro harus mengakhiri simfoni-simfoninya. Mozart meninggal pada 5 Desember 1791 saat berusia 35 tahun. Meninggalkan ketenaran menuju misa abadi yang diiringi simfoni musik kesepian dan kehampaan. Simfoni sebuah ritme konflik yang tak berkesudahan antara ayah dan anak.

1 komentar: