Jumat, 04 Desember 2009

Namanya Nadhifa Aqila Zahirani.....

Namanya Nadhifa Aqila Zahirani bos.....begitu tulisan pesan singkat itu terbaca. Hmmm nama yang indah......aku tanya lagi, balas kirim pesan singkat...artinya apa yach......Nadhifa artinya bersih hati, sifat dan cantik. Aqila artinya banyak akal atau cerdik. Zahirani artinya nasib selalu gemilang. Itu arti namanya anakku bos..... Semoga....AMIIIIN....dr orang yang mulai sejak engkau dilahirkan ke dunia ini hingga nantinya akan engkau panggil paman ...wahai ponakanku.....

Minggu, 29 November 2009

MEMBONGKAR SEJARAH RASISME

Judul : Rasisme: Sejarah Singkat Judul asli : Racism: A Short History Penulis : George M. Fredrickson Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : Pertama, Maret 2005 Tebal : 272 hal +xviii
Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat perbedaan secara fisik. Hal ini wajar karena manusia dilahirkan dengan membawa gen bawaannya masing-masing. Namun apabila dari perbedaan ini sampai memunculkan prasangka, walhasil bisa mengakibatkan fungsi bermasyarakat kita menjadi terganggu. Apapun nama dan bentuk dari prasangka ini, kesemuanya bermuara pada apa yang disebut rasisme.
Istilah “rasisme” sering kali kita gunakan untuk melukiskan permusuhan dan perasaan negatif suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain. Kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari, rasisme justru berkembang luas berikut implikasinya. Sikap antipati (dislike) terhadap suatu kelompok, tidak lagi sekedar wacana, tetapi sudah menjurus pada sikap dan pola perilaku destruktif, melebihi prasangka awalnya. Yang terakhir ini, bagaimanapun bentuk dan polanya, boleh dikatakan merupakan cacat kemanusiaan paling universal.
Hitler tanpa merasa bersalah, telah menggunakan teori-teori rasis untuk membenarkan pembantaian massal yang ia lakukan terhadap orang-orang Yahudi Eropa, demi alasan menjaga kesucian bangsa, tepatnya perempuan-perempuan Jerman dari pengaruh kooptasi dan pencampuran Yahudi. Pun hal ini juga dilakukan para penguasa di Amerika Selatan dengan menerapkan hukum Jim Crow yang membatasi pergerakan kulit hitam demi menjaga kemurnian supremasi kulit putih. Dan belakangan politik Apartheid di Afrika Selatan adalah contoh sejenis bagaimana rasisme berkembang hingga sekarang dan bisa terjadi dimanapun.
Konsep modern tentang rasisme sebagai pembedaan manusia berdasar klasifikasi ciri-ciri fisik (terutama warna kulit) tidaklah ditemukan sampai abad kedelapan belas. Istilah untuk ”ras” dalam bahasa-bahasa Eropa Barat berkaitan dengan peternakan hewan dan hubungan-hubungan aristokratis. Pada tahun 1611, sebuah kamus Spanyol menyertakan definisi-definisi atas raza, suatu penggunaan sebutan yang bersifat menghormati “suatu kasta atau kualitas kuda-kuda asli” dan penggunaan yang bersifat merendahkan, yang mengacu pada silsilah yang meliputi nenek moyang bangsa Yahudi atau Moor.
Rasisme secara harfiah untuk pertama kalinya digunakan secara umum pada tahun 1930-an, ketika doktrinasi ilmiah adalah penting untuk menggambarkan teori-teori yang digunakan Nazi sebagai dasar holocaust-nya terhadap orang Yahudi. Sejak saat itu istilah rasisme begitu populer untuk mewakili sikap tidak menyukai terhadap kelompok lain. Namun, fenomena rasis sebenarnya sudah ada jauh jauh hari sebelum istilah rasisme digunakan. Dan pengertian yang ada, tidak melebihi daripada sejenis prasangka kelompok yang didasarkan pada kebudayaan, agama, atau ranah kekerabatan dan kekeluargaan semata.
Dalam buku –Rasisme: Sejarah Singkat- ini yang merupakan alihbahasa dari buku Racism: A Short History, George M. Fredrickson, sang penulis, menyadari betul bahwa rasisme bukan sekadar suatu sikap atau sekumpulan kepercayaan yang terpatri dalam masyarakat. Rasisme mengungkapkan diri pada praktik-praktik, lembaga, dan struktur yang dibenarkan dan diakui oleh suatu perasaan berbeda yang mendalam. Lebih jauh rasisme bisa membentuk suatu tatanan rasial, tidak sekadar berkubang dalam teori tentang perbedaan manusia. Inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa rasisme selalu beriringan dengan apa yang disebut kekuasaan.
Dengan merunut perspektif historis, Fredrickson berusaha menggambarkan secara ringkas kisah pasang surut rasisme (meskipun, sayang, belum keruntuhannya) sejak Abad Pertengahan hingga sekarang. Dalam uraian ilmiahnya ini, Ia meletakkan posisi rasisme melebihi konsepsi awalnya, dan begitu jelas perbedaanya dengan bahasan kulturalisme. Menurutnya mengkonstruksi kebudayaan secara historis, yang bisa berubah seiring ruang dan waktu, sama saja menciptakan antitesis konsep ras itu sendiri.
Kekuasaan sebagai legitimasi legal para penguasa, acapkali dijadikan ”pembenar” penyusupan ideologi dan penanaman hegemoni rasis dalam struktur masyarakat. Tidak sekadar pembedaan pada unsur dominan yang ada, seperti ras, agama, dan budaya, tetapi sudah menjangkau pada ranah yang sebenarnya tidak bisa diutak-atik lagi karena merupakan kodrati dari Tuhan, seperti gender. Pembedaan gender hingga sekarang masih bisa kita temukan di dalam masyarakat kita. Perempuan lebih dipandang sebelah mata sebagai makhluk yang secara fisik dan sosial lebih tidak dominan dibanding kaum laki-laki.
Ketika perlakuan yang timpang terhadap rakyat yang didasarkan pada ras dibirokratisasikan dan “dirasionalisasikan” dalam pengertian Weberian, orang dapat mengatakan bahwa rasisme telah dimodernisasikan. Hasil rezim rasis yang paling mematikan, Holocaust, memerlukan lebih dari sekedar ideologi dan sentimen antisemit. Holocaust tergantung sepenuhnya pada metode-metode birokrasi modern dan teknologi maju.
Dan setidaknya rasisme modern dengan kekuasaan sebagai tangannya selalu ditunjang adanya ideologi resmi yang jelas-jelas rasis yang dipraktikkan melalui hukum-hukum yang melarang perkawinan antar-ras. Kemudian segregasi sosial telah dilegalkan dan jika pemerintahan itu secara formal bersifat demokratis, anggota-anggota kelompok luar disingkirkan dari pemangkuan jabatan publik atau pelaksanaan hak suara. Pada akhirnya, akses yang dimiliki terhadap berbagai sumber daya dan peluang ekonomi begitu terbatas sehingga sebagian besar tetap berada dalam kemiskian atau sengaja dimiskinkan.
Pada bulan September 2001, Perserikatan Bangsa-Bangsa mensponsori suatu Konferensi Dunia mengenai Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenofobia, dan Intoleransi yang terkait di Durban, Afrika Selatan. Penggunaan istilah yang begitu banyak ini apakah petanda adanya semacam keraguan untuk memaknai atau mewakili semua permusuhan dan penindasan yang memprihatinkan yang sering terjadi. Menyadari bahwa rasisme yang telah mundur pada paruh abad silam sebagai akibat dari Holocaust dan penumbangan Jim Crow di Amerika Serikat dan Apartheid di Afrika Selatan-- apakah ini berarti konferensi PBB tersebut dapat dipandang sebagai sejenis pidato perpisahan kepada suatu “zaman rasisme”.
Semua rezim rasis itu telah ditumbangkan, dan ideologi-ideologi yang menjadi landasannya agaknya telah bangrut. Tetapi persolan terakhir yang harus dihadapi didalam epilog ini ialah apakah kematian mereka juga berarti bahwa virus-virus rasisme juga telah dimusnahkan ataukah virus itu hanya bermutasi menjadi bentuk-bentuk baru dan tetap ganas. Sebagai warisan ideologi kolonial, rasisme harus terus diwaspadai, karena ia selalu siap meracuni sendi-sendi bermasyarakat dan melunturkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sabtu, 28 November 2009

MELEJITKAN POTENSI OTAK DENGAN CARA ASYIK

Judul : Cara Baru Mengasah Otak dengan Asyik Judul asli : Building Mental Muscle: Conditioning Exercises for The Six Intelligence Zones Penulis : Allen Bragdon & David Gamon, Ph.D. Penerbit : Kaifa, PT. Mizan Pustaka Cetakan : I, Oktober 2004 Tebal : 292 hal. Pada tahun 1848, sebuah peristiwa paling dramatis terjadi di area pembangunan rel kereta api. Phineas Gage, seorang mandor pegawai konstruksi yang masih muda, harus menerima kenyataan lain. Sebatang besi menusuk rahang atasnya dan menembus hingga wilayah korteks pra-depan (otak bagian tengah-depan), dan keluar dari keningnya. Meskipun dia bertahan hidup dan, dapat dikatakan sembuh secara menakjubkan, dia telah berubah menjadi orang yang berbeda. Gage yang sebelumnya dikenal bertanggung jawab dan lembut bicaranya, kini menjadi bermulut kasar, aneh, dan tidak perhatian kepada orang lain. Dari hasil rekonstruksi komputer tengkorak Phineas Gage yang hidup selama 14 tahun semenjak peristiwa tragis yang dialaminya, diidentifikasi ada bagian otaknya yang hilang. Hal ini akibat tusukan batang besi yang mengenai korteksnya dan mengeluarkan bagian otak tersebut. Belakangan diketahui bagian otak yang hilang itu adalah cuping depan otak yang dikenal mempunyai fungsi “eksekutif”. Fungsi yang memungkinkan pemain catur meramalkan hasil-hasil gerakannya dan kita menggunakannya untuk merencanakan cara-cara menjalankan berbagai tugas dan berhubungan dengan orang lain. Fungsi eksekutif adalah salah satu dari enam zona kecerdasan pada otak kita. Lima zona kecerdasan lainnya adalah zona ingatan, zona emosional, zona bahasa dan matematika, serta zona spasial. Zona-zona kecerdasan ini satu sama lain saling berkesinambungan dan berhubungan. Faktanya, hampir sebagian besar peristiwa di dunia nyata paling mudah ditangani dengan mengerahkan berbagai ketrampilan, tidak hanya satu. Semisal dalam menghitung besarnya pengeluaran, kita dituntut tidak hanya mengandalkan kemampuan matematika, tetapi juga ingatan kita terhadap apa-apa yang telah dikeluarkan. Otak kitalah yang membuat kita tetap hidup. Otak menuntun kita menemukan jalan masuk kehidupan, membuka pintunya, menyusuri teka-teki antara harapan dan kenyataan, mencari solusi dan pada akhirnya menjadikan kita manusia yang tangguh, lebih kuat, lebih gesit, dan lebih tangkas. Namun, otak yang sangat menakjubkan ini dapat berkarat dan cepat usang. Jika sel-sel otak -yaitu yang membawa pesan-pesan pembentuk kehidupan kita- tidak digunakan, mereka mendapatkan pesan bahwa kita tidak membutuhkan mereka. Sel-sel itu akan menyingkir dan mengerutkan “jari-jari” dendritnya, dan pada akhirnya kemunduran otak tidak bisa dihindari. Menjaga agar sel-sel otak tetap aktif dengan menggunakannya secara teratur dalam kehidupan dapat mencegah kemunduran secara kognitif. Ibarat frasa: Use it or lose it, ini adalah hukum alam. Layaknya otot, otak perlu dilatih agar tidak kendur dan semakin kuat. Melalui buku ini, buku berjudul: Cara Baru Mengasah Otak dengan Asyik, Allen Bragdon menyajikan temuan-temuan mutakhir mengenai cara beroperasinya enam zona kecerdasan kita. Buku ini memuat laporan-laporan pendek hasil-hasil penelitian akademis bidang neurosains terutama mengenai berfungsinya otak manusia. Menariknya, buku yang berjudul asli Building Mental Muscle: Conditioning Exercises for The Six Intelligence Zones (1998) ini dilengkapi tes-tes serta latihan-latihan mental yang terkait dengan setiap laporan. Latihan-latihan yang disajikan merupakan tantangan yang sangat menarik, karena disajikan dalam bentuk teka-teki/puzzle dengan tampilan yang menghibur dan terkesan menyenangkan. Apalagi topik-topik yang ada dapat dimanfaatkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari dan jauh dari kesan runtutan latar belakang ilmiah. Semua ini dirancang oleh A. Bragdon, pendiri majalah Games, bersama David Gamon, pakar pendidikan dari universitas California Berkeley. Zona kecerdasan yang pertama adalah fungsi eksekutif dan sosial. Ia berfungsi dengan cara yang benar-benar khas manusia: menjalankan rencana-rencana untuk masa depan dan membina interaksi sosial dengan lingkungan. Letak fungsi ini ada di bagian depan korteks otak yang membedakan kita dengan makhluk lain (hewan). Zona inilah, ternyata, yang paling bertanggung jawab atas kesadaran diri, kemampuan untuk berintrospeksi, merenung, dan menimbang tindakan-tindakan yang tepat. Cedera pada zona ini bisa mengakibatkan kehilangan emosi dan juga kemampuan untuk membuat keputusan, mirip yang dialami si pemuda Gage. Fungsi kecerdasan kedua adalah ingatan. Zona ingatan ini merupakan komponen semua ketrampilan kognitif. Otak menyandikan beberapa jenis pengalaman secara permanen, langsung, dan tanpa usaha sengaja. Pengalaman yang dianggapnya bermanfaat disimpan di dalam korteks, sering di dekat area indra yang mencatat pengalaman tersebut. Gangguan awal pada fungsi ingatan biasanya dimulai dengan ketidakmampuan untuk mengingat kejadian-kejadian yang belum lama berlalu. Menurut pandangan tradisional, otak dan emosi adalah dua hal yang sangat berbeda, bahkan cenderung bersaing satu sama lainnya. Namun neurosains membuktikan kebalikannya dengan mengungkapkan adanya lokus di dalam otak yang berisi indra-indra emosional kita, dan jalur-jalur saraf yang menghubungkan emosi dengan fungsi-fungsi “intelektual” pikiran. Emosi yang dalam strukturnya bergantung pada otak itu sendiri, memainkan peranan sangat penting dalam pembentukan ingatan. Dan sesungguhnya, ingatan-ingatan emosional sangat sulit dihapuskan, meskipun ingatan yang sangat traumatis dapat dibuang dari pikiran sadar, tetapi mereka akan muncul kembali bertahun-tahun kemudian pada masa-masa stres. Emosi terkait erat dengan pemahaman, dan dengan pemeliharaan kesehatan sel-sel otak serta sistem imun tubuh kita. Zona kecerdasan keempat yang kita miliki adalah fungsi bahasa. Bahasa merupakan indra alamiah yang menyatukan semua manusia. Sifat indra bahasa yang rumit dan misterius, menjadikannya perbedaan-perbedaan tingkat pemahaman dan penguasaan bahasa masing-masing individu. Dewasa ini berdasar bukti yang ditemukan, adanya kemauan sepanjang hidup untuk mempelajari dan mengembangkan kemampuan linguistik, dapat membantu kita menjaga sel-sel otak berfungsi dengan baik, bahkan bisa membantu mencegah penyakit Alzheimer. Kerusakan pada zona bahasa ini bisa menyebabkan hilangnya beberapa ketrampilan bahasa tertentu seperti berbicara, menulis, pemahaman makna kata-kata, dan kemampuan mengenali objek. Matematika bagi kebanyakan orang sering menjadi “momok” dan cenderung untuk dihindari. Padahal disadari atau tidak, sesungguhnya kita semua disatukan oleh tingkat kemampuan aritmetika dasar yang sama. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhadapan dan tidak terlepas dengan persolan-persolan matematis. Membiarkan ketajaman matematika otak kita sama dengan membuat kita “tidak pandai matematika”. Kecerdasan matematika ini cenderung berfluktuasi sesuai dengan suasana hati dan kewaspadaan mental kita. Karena itu, tidur yang baik dan jenis nutrisi yang tepat sangat penting bagi kinerja matematika. Fungsi kecerdasan yang terakhir adalah kemampuan spasial, yaitu kemampuan dari menangkap detail, pembentukan pola-pola dari detail yang ada, hingga mencocokkan pola-pola tersebut berdasar pengertian pengetahuan yang ada. Dengan kata lain adalah kemampuan kita memahami pola-pola dibalik ruang tiga dimensi. Seperti zona kecerdasan lainnya, fungsi visio-spasial dapat dipertahankan atau dibiarkan memburuk. Dengan membiasakan diri melatih otak (ibaratnya melakukan senam otak), berarti ada usaha untuk merangsang sel-sel di berbagai zona otak kita tetap aktif. Tidak sekadar empat sehat lima sempurna dengan nutrisi yang cukup dan tidur yang baik, otak juga perlu nutrisi dalam bentuk mengasyikkan. Dan melalui permainan-permainan yang disajikan dalam buku ini, niscaya pasti akan kita temukan kudapan lezat untuk otak kita. Jadi, tunggu apalagi. Asah otakmu, gunakan otakmu atau kau akan kehilangan dia!

Menapaki Bisnis di Jalan Tuhan

Judul : Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin: Pengalaman Berbisnis dengan Sandaran Al-Quran Penulis : Basuki Subianto Penerbit : Al-Bayan, PT. Mizan Pustaka Cetakan : I, Oktober 2004 Tebal : 264 hal. Dunia bisnis oleh sebagian orang seringkali diidentikkan dengan dunia yang penuh persaingan, yang setiap saat antara pelaku bisnis bisa saja saling menjatuhkan. Berbagai carapun dilakukan agar para pesaingnya tidak bisa berkembang. Intrik dan permainan kotor adalah hal biasa yang bisa saja terjadi dalam dunia bisnis. Tak heran, orang-orang yang berjibaku didalamnya, mau melakukan segala usaha agar tujuannya tercapai. Prinsip ekonomi menjadi visi dan misi mereka, tak peduli jalan yang harus dilalui apakah dibenarkan atau tidak oleh etika dan aturan yang ada. Pertanyaannya sekarang, apakah memang demikian dalam menjalankan bisnis harus melakukan cara-cara yang dari segi norma, etika, dan lebih-lebih oleh agama sangat tidak dianjurkan? Tidak adakah bisnis yang lebih bermanfaat, baik secara sosial, ekonomi, dan etika, yang dapat mengantarkan para pelakunya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat? Tidak sedikit pebisnis yang justru dengan idealisme dan kesadaran yang dimilikinya, sebagai makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan juga sebagai makhluk Tuhan, berani menentang arus yang selama ini terbiasa dan menjadi hal biasa dalam dunia bisnis. Mereka yang disebut oleh Gay Hendricks sebagai orang-orang suci. Orang yang dengan beraninya berperilaku jujur dan lurus di perusahaan-perusahaan. Mereka sangat menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai spiritual. Mereka tidak sekedar “memainkan” uangnya, melainkan juga hati dan jiwa mereka dalam bekerja (The Corporate Mystic, 1996). Di jaman yang penuh persaingan ini, memang dituntut kepekaan dalam membaca dan menganalisa setiap perkembangan yang ada termasuk dalam dunia bisnis. Baik itu membaca setiap peluang dan kesempatan pasar dalam menetapkan strategi pemasaran (marketing plan), hingga pengambilan kebijakan dalam berinvestasi dan mengembangkan usaha baru serta memunculkan inovasi dalam pengembangan produk baru. Mereka yang tergambar sebagai penentang arus dalam dunia bisnis ini, adalah orang yang dianugerahi intuisi tajam. Orang menyebutnya sebagai indra keenam atau wangsit Illahi (bisikan Tuhan). Dari intuisi ini, seorang pebisnis bisa mengambil keputusan tepat dalam memilih orang yang cocok untuk dilibatkan dalam mengorganisasi gerak perusahaan, menjalankan visi, dan berkomitmen dalam kemajuan. Lewat intuisi pulalah seseorang bisa mengambil keputusan, kapan “memainkan” uangnya untuk berinvestasi dan memulai berbisnis. Pada dasarnya setiap orang memiliki intuisi ini, akan tetapi kualitasnya berbeda satu dengan lainnya. Tergantung setiap orang untuk mau dan terus-menerus mengasah dan mempertajam intuisinya. Makin tajam intuisi seseorang, keputusan yang diambil dipastikan memuat “kebenaran” dan terarah. Hal inilah yang melecut semangat seorang Basuki Subianto, mantan wartawan media cetak nasional, untuk memberanikan diri mengubah haluan dari jalur yang selama ini ia tekuni. Basuki Subianto, lewat bukunya yang berjudul Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin: Pengalaman Berbisnis dengan Sandaran Al-Quran ini, berusaha mengungkapkan fakta-fakta yang selama ini dianggap tidak mungkin oleh kebanyakan orang. Menurutnya, dalam menjalankan bisnis tidak selamanya harus ‘abu-abu’ bahkan cenderung serba ‘gelap’. Harus ada cahaya penerang yang menuntun setiap gerak pebisnis dalam menjalankan usahanya. Basuki Subianto sendiri adalah seorang anak petani yang merantau ke Surabaya pada masa revolusi. Pengetahuan agamanya terbatas, sekedar mendengar ceramah agama di masjid, radio dan pendidikan sekolah umum. Ia mulai meretas jalan hidupnya saat ia duduk dibangku kuliah semester dua, ketika ia memasuki dunia kewartawanan di kampus. Dedikasinya yang tinggi pada dunia pers mengantarkannya menjadi bagian dari “tim sukses” berbagai media cetak di tanah air. Posisi wartawan hingga pemimpin redaksi, pernah dinikmatinya. Di dalam buku ini, Basuki Subianto ingin berbagi pengalaman sebagai orang yang berani mengambil resiko, mempertaruhkan pekerjaan mapan yang ia geluti selama lebih 17 tahun di dunia bisnis surat kabar. Dalam dunia bisnis, tidak ada satu keputusan yang tidak mengandung resiko. Manusia diberi akal untuk menganalisis kemungkinan risiko itu agar tidak merugi. Tujuannya satu, ia ingin membuktikan prinsip esensial Al-Quran dalam berbisnis. Buku pertama Robert T. Kiyosaki berjudul Rich Dad Poor Dad turut memberi andil dalam mempengaruhi dirinya untuk mengambil resiko beralih haluan menjadi pengusaha. Buku Kiyosaki ini memang membakar semangat sekaligus memprovokasi siapapun. Kiyosaki seolah-olah berseru: berhentilah menjadi karyawan, beralihlah menjadi pengusaha. Sebagai pengusaha, penghasilan jelas akan menjadi lebih besar dan sekaligus memiliki perusahaan. Sungguh gambaran yang menggiurkan!. Bagian terpenting dari buku Basuki Subianto ini adalah spirit yang terkandung dibalik peristiwa pengunduran dirinya dari jajaran direksi Kompas, tempat ia bekerja selama ini. Saat itulah ia memperkenalkan konsep Impossibility Quotient (ImQ) sebagai alasan pengunduran dirinya. Sebuah konsep yang berbeda dengan konsep kecerdasan pendahulunya, seperti IQ, EQ dan SQ, namun ImQ ini menaungi dan melengkapi ketiganya. Sebuah konsep yang menjelaskan betapa pancaindra manusia sangat terbatas. Apa yang menurut manusia mungkin terjadi, ternyata tidak. Dan, yang tidak mungkin menurut manusia, bisa saja terjadi. Impossibility Quotient (ImQ) adalah strategi untuk memaksimalkan kecerdasan manusia dalam mencapai tujuan. Caranya tidaklah cukup dengan pancaindra, namun harus juga digerakkan dengan hati yang bersih. Apa yang tidak mungkin oleh pancaindra, menjadi mungkin hanya dengan hati yang bersih. Demikian juga sebaliknya. Alhasil, intuisi kita terus mengalir mengikuti kata hati, mencari kebenaran, hingga menemukan kebenaran hakiki. Konsep ImQ inilah yang menjadi pegangannya, sekaligus mematahkan pemikiran Kiyosaki, yang menganggap menjadi pengusaha hanya semata untuk mencari uang dan uang saja (kebahagiaan lahir). Buku ini lebih tepat disebut sebagai buku biografi-kontemplatif, karena dalam buku ini Basuki Subianto memaparkan berbagai pengalamannya semenjak ia mulai menekuni dunia jurnalistik hingga berputar 180 derajat menjadi pengusaha real-estate. Dari pengalamannya menimba ilmu hikmah dari sang guru, ia menyebutnya sebagai ”bapak Ustad”, seorang ulama yang pernah berbisnis tetapi kemudian memutuskan kembali ke dunia pesantren, hingga pengalamannya sendiri dalam bergelut dengan dunia bisnis. Istimewanya, semua pengalaman berbisnis yang termuat dalam buku ini, adalah hasil perenungan dan proses justifikasi akan kebenaran Al-Quran dan sangat cocok sebagai bahan perenungan bagi para pelaku usaha atau siapapun juga, tak peduli agama dan keyakinan yang dianutnya. Buku ini ingin mengingatkan tentang keseimbangan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak, agar siapapun kita senantiasa mengasah intuisi dengan berperilaku jujur, berbagi dengan sesama, dan dengan hati yang bersih. Dan ImQ adalah strategi mengambil hikmah Al-Quran untuk mendapatkan cahaya dalam kegelapan, tidak hanya dunia bisnis, tetapi untuk semua kehidupan ini.

Simfoni Mozart: Sebuah Ritme Konflik Abadi

Judul : Mozart: Simfoni Hidup Sang Maestro Judul asli : Mozart Penulis : Peter Gay Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : I, April 2005 Tebal : 236 hal +viii Diantara para maestro musik klasik, nama Mozart tentunya sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang. Mozart adalah salah satu icon musik klasik abad pertengahan, disamping terdapat juga nama Johann Christian Bach, dan Beethoven, yang sangat berpengaruh pada perkembangan musik kontemporer dewasa ini. Karya-karya Mozart, sebagian besar berupa simfoni dan opera, diakui memiliki cita rasa dan daya kreativitas yang tinggi. Bahkan, ada banyak hasil penelitian mutakhir yang mengakui “keampuhan” musik Mozart dalam menstimuli perkembangan kecerdasan intelektual dan emosional manusia. Sebagian besar penikmat musik klasik, menilai Mozart adalah gambaran kesempurnaan sebuah aktualisasi diri yang meletup-letup yang menghasilkan simfoni-simfoni menawan dan opera-opera yang membius. Dalam umurnya yang relatif singkat, ia telah banyak menghasilkan komposisi seperti konserto, sonata, musik kamar, opera-opera, hingga musik misa. Suatu tingkat kesempurnaan, atau boleh disebut bakat Ilahi, yang hanya bisa ditandingi oleh sedikit komposer. Tak aneh bila sepanjang ritme kehidupannya menjadikan ia laiknya seorang selebriti yang tentu saja tidak terlepas dari cerita-cerita tak jelas, sebuah citra yang penuh rumor, bahkan cenderung mendramatisir. Upaya-upaya ilmiah para penulis biografi modern tidak juga mampu menepis citra yang selalu muncul di benak para penggemar musik ketika mendengar nama Mozart disebut. Mozart dewasa yang masih bersifat kekanak-kanakan, maestro yang begitu memesona sehingga tak perlu mempertanyakan kredibilitasnya, seorang komposer sempurna yang tak perlu merevisi satu nada pun dalam karyanya, hingga isyarat kematiannya yang tersimbolkan lewat lagu kematian (requiem), dan seorang gelandangan yang ketika mati dikubur di pemakaman orang-orang miskin. Ilustrasi kehidupan Mozart di atas kebanyakan lebih merupakan distorsi ketimbang keterangan yang dibuat-buat. Sebanyak rumor yang melingkupi sang genius, banyak penggemarnya menuntut agar tokoh dengan bakat luar biasa ini, menjalani hidup yang luar biasa pula, penuh peristiwa-peristiwa penting dan dramatik, dan tentu saja prestasi gemilang yang tak tertandingi, bahkan tak terbayangkan oleh orang awam. Namun, kehidupan musik Mozart telah cukup mengagumkan tanpa perlu diimbuhi keterangan-keterangan palsu, reputasinya sebagai seorang genius tak kan tergoyahkan oleh fakta-fakta remeh. Mozart adalah seorang genius, sebuah predikat yang tak mungkin ditolak oleh penulis biografi paling objektif manapun. Bahkan komposer kenamaan pada jamannya, Joseph Haydn, menyebutnya sebagai komposer terbesar layaknya intan permata. Beethoven pun pernah menyanjung karya-karya Mozart sebagai tak tertandingi. Dilahirkan pada 27 Januari 1756 di Salzburg, Austria, Wolfgang Mozart adalah anak ketujuh (bungsu) dari pasangan Leopold dan Anna Maria. Lima saudara kandungnya meninggal semasa bayi, dan hanya seorang kakak perempuan yang berhasil hidup. Nannerl, biasa dipanggil, empat tahun lebih tua dari Mozart. Ayah Mozart, Leopold, adalah seorang musisi profesional yang berpendidikan tinggi. Bekerja sebagai violis dan asisten konduktor pada pangeran-uskup di Salzburg. Latar belakang keluarga yang pencinta musik (lebih tepatnya talenta sang ayah), membuat Mozart lebih “cepat” menemukan bakat besarnya. Mozart memulai pendidikan musiknya di rumah. Ketika sang ayah mengajari Nannerl, sang kakak, cara bermain harpsichord (sejenis piano), Mozart usia tiga tahun, terdorong untuk mencoba instrumen ini sendiri. Bahkan buku catatan berisi lagu-lagu sederhana yang sedianya dimiliki Nannerl, segera saja berpindah kepemilikannya ke Mozart kecil. Setelah berusia lima tahun, Mozart melakukan sebuah lompatan tak lazim, dari pemain musik menjadi pencipta musik. Menjelang tujuh tahun, ia sudah mahir memainkan biola. Bahkan menulis sonata-sonata yang diiringi biola, harpsichord, dan instrumen lain, dicapainya saat belum genap delapan tahun. Sebuah prestasi yang tak biasa yang begitu luar biasa yang tidak mungkin dilakukan oleh anak seumur pada jamannya. Dengan memakai simfoni yang ia buat pada usia tujuh tahun, Mozart memulai debut perdananya dalam penulisan opera La finta semplice, saat ia berusia dua belas tahun. Baru pada 1773, Mozart yang berumur tujuh belas tahun, telah menggubah lebih dari dua puluh enam simfoni, dan disinilah kegeniusannya sebagai komposer musik tampak. Nomor 29 dalam A Mayor (K.201), yang kaya materi tematis orisinal, merupakan sebuah karya yang monumental yang hingga detik ini dikenal dengan baik dalam repertoar orkestra modern apa pun. Namun, dibalik kegeniusannya, ada semacam keraguan untuk mempertanyakan orisinalitas improvisasi dan komposisi musiknya, bahkan tentang kehidupan sang maestro yang dianggap tidaklah seindah simfoni ciptaannya. Ada nuansa suram yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan penuh ketenarannya. Melalui buku ini, Mozart: Simfoni Hidup Sang Maestro, Peter Gay, sejarawan dan penulis yang pernah memenangi penghargaan National Book Award, mencoba menunjukkan kepada kita sisi lain Mozart apa adanya. Mozart dalam usianya yang relatif singkat telah menghasilkan begitu banyak karya, sebanyak pujian dan ketenaran yang didapatnya, adalah seorang anak yang haus kasih sayang. Sekalipun bersama kedua orangtuanya, kakaknya, dan menjadi pusat perhatian saat ia mengadakan tur-tur konsernya dari London, Wina sampai Milan, ia tampak kesepian dan merana. Meskipun ia mendulang sukses yang berimbas pada kondisi keuangannya, namun tidak diimbangi hubungan baiknya dengan sang ayah. Ayahnya dikenal terlalu menuntut, egois dan cenderung turut campur segala urusan anak-anaknya. Penerimaan yang kurang Leopold terhadap istri Mozart, bahkan terhadap anak-anaknya, adalah bukti ketidakpedulian sang ayah yang disatu sisi begitu mengelu-elukan kehebatan Mozart. Dominansi Leopold terhadap Mozart, berimbas pada gaya hidup sang putera yang memutuskan tinggal di Wina. Tampaknya konflik sepanjang hidup dengan ayah kandungnya adalah pemantik dari segala “kegagalan” jalan hidup sang genius ini. Pertentangan psikologis ini berujung pada penolakan Mozart terhadap “nasihat-nasihat” sang ayah. Mozart cenderung menghamburkan uang hasil konsernya untuk memenuhi standar gaya hidupnya yang boros, tetapi sedikit untuk urusan sehari-hari keluarganya. Agaknya masalah materi menjadi persoalan penting dan “kemiskinan” materilah yang membuat Mozart menderita sekali. Ia terjerat hutang, mengubah Mozart menjadi sosok yang patut dikasihani. Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, lewat surat-suratnya pada teman-temannya, ada indikasi ia mengalami stres yang membuatnya terpuruk tak berdaya, yaitu hancurnya kepercayaan diri. Mozart mengalami “kemurungan jiwa yang mengenaskan”. Kepergian sang ibu yang kemudian disusul sang ayah, guru sekaligus “musuh utamanya” untuk selama-lamanya semakin membuatnya depresi. Hebatnya, meskipun tercabik-cabik oleh kesengsaraan dan dihantui oleh “pikiran-pikiran buruk” (mengidap paranoia), daya cipta Mozart tak pernah surut. Justru pada masa ini, karya-karya terbesar Mozart lahir dan semakin mengukuhkan kepiawaian dan eksistensinya sebagai komposer. Daya kreatif Mozart yang menggebu, agaknya disulut oleh konflik intern ayah dan anak. Jika benar demikian, lalu bagaimana sang maestro ini “menjembatani” konflik yang ada dengan kreativitas bermusiknya? Dengan semangat dan sentuhan cerdas dalam opera-operanya memperlihatkan bahwa perseteruan antara seorang ayah (atau figur ayah) dan seorang anak (biologis atau psikologis) telah mendorong Mozart untuk mengolah implikasi-implikasi dari konflik tersebut. Ciri-ciri figur ayah dalam naskah-naskah operanya yang ia terjemahkan ke dalam musik sangat bervariasi, kerap kali seorang ayah dijadikan sosok ideal, tetapi dalam kesempatan yang lain dihinakan, dikalahkan, atau digambarkan suka merusak diri sendiri. Akhir kehidupan Mozart, seperti awalnya, berkembang menjadi suara-suara sumbang yang tak berkesudahan. Kecepatannya dalam berimprovisasi yang lebih menggila di tahun terakhirnya, adalah sebuah tanda tentang suasana batinnya. Ada bukti kuat bahwa ia memanfaatkan aktivitas menggubah musik sebagai obat pengurang rasa sakit, sebagai obat atas kesedihannya dan penderitaannya dalam kesendirian di tengah gegap gempita ketenarannya. Isyarat kematiannya oleh kebanyakan penulis biografi, dihubungkan dengan karya terakhirnya, menggubah misa kematian (requiem), meskipun tak terselesaikan. Namun ini sudah dianggap sebagai petanda bahwa sang maestro harus mengakhiri simfoni-simfoninya. Mozart meninggal pada 5 Desember 1791 saat berusia 35 tahun. Meninggalkan ketenaran menuju misa abadi yang diiringi simfoni musik kesepian dan kehampaan. Simfoni sebuah ritme konflik yang tak berkesudahan antara ayah dan anak.

BEBAS DARI BELENGGU DERITA

Judul : Buddha Judul asli : Buddha Penulis : Karen Armstrong Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : Kedua, Juli 2005 Tebal : 238 hal + xxx Sejak dahulu, manusia memanfaatkan agama untuk membantu memahami kehidupan bahwa hidup kita mempunyai arti dan nilai hakiki. Pemaknaan hidup serasa sebagai kebutuhan fundamental tatkala manusia dalam kehidupannya sehari-hari, sudah semakin banyak dicarutmarutkan dengan urusan dunia dalam pemenuhan kebutuhan fisik. Manusia memerlukan agama sebagai “jalan” untuk menggali kembali nilai kemanusiaannya, meskipun terkadang mitos-mitos dan ritual-ritual keagamaan yang merupakan unsur utamanya tampaknya tak masuk akal. Dilema manusia post-modern yang ditandai dengan gejala individualisme, sebagai akibat perubahan pola masyarakat dari komunal menjadi ekonomi pasar yang kompetitif, justru membawa sisi ironisme tersendiri. Manusia terjebak dalam rutinitas yang tidak saja menghabiskan rentang waktu dalam hidup, tetapi malahan membuka ruang pada dirinya untuk mengingkari penderitaan yang menimpa diri kita dan sesama, serta menutup diri dalam kondisi apatisme untuk menjaga perasaan kita sendiri. Siddharta Gautama, sang Buddha yang melegenda, adalah sosok yang kisah hidup dan pencarian spiritualnya tak henti-hentinya dimaknai dan dijadikan sumber ilham oleh banyak “pencari pencerahan” hingga melampaui sekat-sekat formal berbagai agama. Sama seperti Buddha, yang hidup di masa transisi di India Utara dalam kurun waktu 600-an hingga 500-an SM, kita saat ini juga mengalami krisis sosial, kekerasan politik, dan tragedi kemanusiaan yang mengaburkan nalar dan menciptakan apatisme. Karen Armstrong, penulis buku Sejarah Tuhan, berusaha mengabadikan kehidupan Buddha apa adanya. Melalui buku biografi yang berjudul Buddha, Karen berusaha menguak misteri yang menyelubungi si manusia “tercerahkan” ini dengan menggali informasi berdasar kitab yang ditulis dalam bahasa Pali, bahasa berdialek India Utara saat itu. Meskipun lebih banyak dilingkupi kisah-kisah legenda, toh ini sudah merupakan nilai historis tersendiri. Bagi Buddha, adalah yang terpenting ajaran-ajarannya, bukan sisi-sisi kepribadian dan kehidupannya. Buddha lahir sekitar tahun 563 SM, meninggalkan rumah mewahnya dan keluarganya di kerajaan Kapilawasthu di kaki pegunungan Himalaya pada tahun 534 SM (Heinz Berchant). Kegamangan memaknai kehidupan manusia setelah melihat rangkaian peristiwa yang sarat derita, yang dimulai dengan trauma karena kelahiran dan terus berlanjut hingga penuaan, sakit, kematian, kesedihan dan keserakahan di kerajaan ayahnya, membuatnya memutuskan meninggalkan semua yang telah dimilikinya. Sang Buddha yang saat itu berumur 29 tahun, memulai perjalanan spiritualnya dengan menempuh kehidupan suci, mengembara dan pertapaan, usaha yang dianggap mulia pada saat itu. Dengan banyaknya metode dan teknik pencarian spiritual dari berbagai aliran yang berkembang saat itu, justru membuatnya tidak puas dan terus saja mencari. Berbagai aliran kepercayaan yang ada dianggap tidak sesuai bagi dirinya sehingga ia memutuskan untuk merintis jalur sendiri dan menerapkan dhamma tanpa bimbingan seorang guru. “Aku yakin, ada jalan lain untuk mencapai pencerahan!” kata Gautama (hal. 76). Pencerahan Gautama terjadi pada tahun 528 SM saat ia duduk dalam posisi asana (meditasi) di bawah sebuah pohon Bodhi. Unsur terpenting dari kebenaran yang ia “temukan” adalah bahwa hidup yang ideal adalah hidup berdampingan dengan orang lain. Inilah “jalan tengah” yang berusaha mengakomodasi kehidupan akhirat ala brahmana dan kehidupan dunia di sisi lain agar tetap berjalan seimbang dan tidak timpang sebelah. Iapun menahbiskan 40 tahun berikutnya berkelana tak kenal lelah ke berbagai penjuru di dataran sungai Gangga, untuk mengajarkan Dhammanya. Cinta kasih dan kerelaan tanpa pamrih merupakan konsep pokok dalam pencerahan Buddha. Filosofi keagamaan di India yang menghendaki kedamaian dan kehidupan abadi, tampaknya sejalan dengan risalah-risalah yang dibawa Buddha dan membuat ajarannya segera menyebar luas dan mudah diterima. Buddha telah menjadi simbol spiritualitas. Ia adalah sosok manusia baru yang telah terlatih untuk mendisiplinkan jiwanya agar hidup tanpa sikap egois. Ia masih hidup di dunia, tapi telah mendiami dimensi keramat lain, yang oleh para penganut monoteisme disebut sebagai eksistensi ketuhanan. Buddha sangat menghindari kultus individu. Saat mencapai pencerahan, ia berharap ajarannya sendiri akan dilupakan. Buddha mengibaratkan ajarannya mirip rakit yang dipakai menyeberangi sungai dan kemudian dibuang. Ajaran Buddha bersifat sederhana, tujuannya bukan untuk menjabarkan konsep-konsep yang sempurna ataupun mengenai masalah-masalah metafisik. Tujuan utamanya membuat orang mampu menyeberangi samudra penderitaan menuju “pantai tujuan”. Karenanya, tidak ada teori-teori yang rumit mengenai penciptaan alam semesta ataupun eksistensi Tuhan. Laiknya konsep Diri, konsepsi ketuhanan dapat dipakai untuk merangsang dan mendorong perilaku egoistik. Orang Islam, Yahudi, dan Kristen yang paling saleh akan menyadari bahaya perilaku egois dan akan merujuk pada Tuhan yang senada dengan sikap berdiam diri Buddha jika ditanya mengenai masalah Nibbana (Nirvana). Mereka juga yakin bahwa Tuhan bukanlah sesuatu yang lain, bahwa persepsi kita mengenai “kehidupan” sangat terbatas sehingga lebih tepat jika dikatakan bahwa Tuhan itu tidak ada dan bahwa “Tuhan” itu bukan apa-apa. Tapi bagi pemeluk agama tertentu, benar bahwa “Tuhan” sering mengalami erosi makna. Tuhan sering kali direduksi menjadi objek sesembahan yang dibentuk dalam gambaran dan dianggap menyerupai para pemujanya. Tuhan yang terbatas ini mempunyai andil bagi kemunculan kekejian agama yang terburuk dalam sejarah. Buddha yakin bahwa kehidupan yang tanpa pamrih akan mengantarkan manusia menuju Nibbana. Konsepsi ini bagi penganut monoteisme dianggap dapat dijadikan sebagai jalan untuk menyatu dengan Tuhan. Tapi bagi Buddha, konsep ketuhanan yang personal seperti ini terlalu dangkal, berbeda dengan konsep yang diusungnya, menempatkan Kebenaran tertinggi hanyalah makhluk. Nibbana bukanlah tempat atau sosok tertentu seperti Surga. Buddha selalu tidak mengakui adanya prinsip absolut ataupun Makhluk Tertinggi karena bisa membebani dan menghambat pencerahan. Namun, segala sesuatu bersifat fana. Ada kelahiran ada kematian. Buddha merasakan kepadaman, yang ironisnya, merupakan realitas tertinggi dan tujuan hakiki dari umat manusia. Ia laksana nyala api yang padam oleh tiupan angin, akan beristirahat dan tak bisa digambarkan. Demikianlah yang tercerahkan telah lepas dari belenggu ego. Ia akan beristirahat dan tak bisa dilukiskan. Lampaui segala yang ada di dunia. Lampaui kekuatan kata-kata ( Sutta-Nipata, 5: 7). Ia adalah manusia yang telah mengubah dunia, membebaskan dari samsara keserakahan, kebencian dan kebodohan. Namun begitu, ia tidak lagi terpengaruh oleh keadaan dunia.

Ironisme Seorang Pegiat Kemanusiaan

Judul : Sang Hakim Judul asli : The Judges: A Novel Penulis : Elie Wiesel Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : I, Februari 2005 Tebal : 368 hal +xvi Manusia terkadang tidak bisa memahami rahasia Tuhan, ada apa dibalik kehidupan yang dianugerahkan pada kita. Tapi tidak bagi seorang Elie Wiesel, pengarang besar berdarah Yahudi. Ia bisa mengambil hikmah dari takdirnya, menjadi salah satu manusia yang berhasil hidup dan bertahan selamat di antara empat puluh juta jiwa yang tewas, saat pendudukan rezim Nazi di Rumania pada tahun 1943. Tidak terbayangkan sama sekali hingga detik hari ini, menjadi saksi mata kekejaman Nazi atas bangsanya, bahkan keluarganya sendiri, enam puluhan tahun silam. Sebagai saksi hidup dari sebuah tragedi besar kemanusiaan, Elie Wiesel, menyadari keberuntungannya sebagai suatu anugerah yang tidak sia-sia. Tidak sia-sia, karena tidak seperti korban selamat yang lain yang lebih memilih diam dan mengubur dalam-dalam kenangan buruk tersebut, ia malah dengan berani membongkar dan menunjukkan pada dunia lewat buku-bukunya. Dari tulisannya, lahir sejumlah karya yang terinspirasi latar suram nan pedih nasib Yahudi di tangan Nazi-Jerman. Tak hanya sampai di situ, ia adalah corong terdepan yang begitu gigih dalam mengkampanyekan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, melalui sejumlah konferensi internasional tentang peringatan Holocaust dan kekejaman Nazi. Kiprah dan semangatnya yang tak henti dalam mengingatkan dunia akan persamaan hak asasi manusia dan kemanusiaan, mengantarnya memperoleh The Congressional Medal of Honor dari pemerintah Amerika Serikat dan Nobel Perdamaian pada tahun 1986. Kepiawaian menuangkan kegelisahan hatinya dalam tulisan-tulisan susastranya, dibuktikan Wiesel dengan telah menghasilkan lebih dari empat puluh buku, termasuk buku best-sellernya, Night dan A Beggar in Jerusalem yang memenangi Prix Medicis. Pun hal ini diimbangi dengan kritik-kritiknya terhadap apa yang disebutnya sebagai “sikap diam dunia” tatkala tragedi kemanusiaan terjadi di berbagai belahan bumi. Sebut saja pelanggaran hak asasi Cina terhadap Tibet, pembersihan etnis di Bosnia, bahkan nasib tak jelas para manusia perahu asal Vietnam. Tidak semua karyanya menceritakan sangkut paut hubungan antara Nazi dan Yahudi, seperti yang dilukiskan dalam triloginya: La Nuit, bagian pertama yang diilhami malam panjang di kamp Buchenwald, disusul sekuelnya Dawn dan Accident. Novel berjudul -Sang Hakim- ini, dalam beberapa esai kritik, termasuk dalam thriller berlatar modern. Tema utama yang diangkat adalah the question of spirituality and humanity. Mencoba menggali makna-makna etika spiritual dan kemanusiaan, sebuah tema yang tak pernah lepas dari kehidupan Wiesel sendiri, dan diperolehnya dari perjuangan bertahan hidup dalam kamp konsentrasi. Novel ini yang merupakan terjemahan dari The Judges: A Novel (New York, 2002), mengisahkan perjuangan lima orang diantara para penumpang pesawat yang terpaksa mendarat karena cuaca buruk. Mereka berlima dengan karakter dan latar belakang kehidupan yang berbeda, ditampung di sebuah rumah penduduk yang sama. Rumah yang tidak seorang pun bisa keluar bila sudah berada didalamnya, lebih mirip ruang observasi dimana sang tuan rumah bisa dengan bebas mengamati gerak gerik para tamunya tanpa diketahui. Orang pertama, satu-satunya wanita, Claudia, yang baru saja meninggalkan suaminya dan menemukan cinta barunya. Razziel, orang kedua, seorang guru agama yang pernah menjadi tahanan politik, dan kini mencari kebenaran untuk menemukan sang “juru selamat”. Orang ketiga, Yoav, seorang tentara Yahudi Israel yang divonis menderita tumor ganas diotaknya, mencoba bertahan untuk sekedar memanfaatkan sisa umur dengan menemui sang istri dan menjalani kehidupan normal. George, seorang ahli kearsipan yang ditangannya ada sebuah dokumen rahasia yang bisa menjatuhkan seorang politisi berpengaruh, dan Bruce, orang kelima, si perayu ulung yang sadar akan dosa-dosanya membuat banyak hati wanita kecewa dan patah, dan kini ingin menemui cinta sejatinya. Namun kenyataan berbicara lain, alih-alih mendapat kenyaman berlindung dari hujan badai salju yang terus menggila, mereka harus menghadapi kematian yang justru datang dari sang penolong. Tuan rumah mereka, seorang lelaki misterius yang menyebut dirinya “Sang Hakim”, mulai menginterogasi dan menanyai mereka satu per satu laiknya dalam sebuah persidangan. Memaksa mereka menghadapi kebenaran dan mempertanyakan makna hidup selama ini. Namun tak berapa lama, sang hakim mengumumkan bahwa salah seorang diantara mereka yang berada di rumahnya, orang yang paling tak berharga, akan mati sebelum fajar menyingsing. Belum hilang rasa penasaran pada sosok si hakim yang menyimpan misteri dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis, dan cenderung menggugat eksistensi terdalam, mereka berlima kini dikejutkan dengan sandiwara maut yang sedang dipertunjukkan sang hakim. Dibantu oleh asistennya, si Bongkok, yang tak kalah membingungkan dengan si majikan, berperawakan dan berwajah seaneh bahkan lebih buruk dari sebutannya, membuat psikodrama yang ada, benar-benar nyata tersaji. Melihat kenyataan tak ada jalan keluar, mereka berlima pun mau tak mau harus mengikuti skenario sang hakim. Kelima “terdakwa” tersebut harus melewati malam penantian dengan diliputi ketidakpastian, siapakah yang pantas diantara mereka menjadi korban yang akan mati di pengadilan ala sang hakim. Gambaran masa lalu masing-masing terpampang kembali dengan begitu jelas, tidak sekedar mengulang ingatan, tetapi berusaha menggali makna hidup yang sudah dijalani dengan tetap mempertanyakan seberapa pantas dan untuk apa mereka hidup hingga pertanyaan kematian itu sendiri. Disinilah yang menjadi ciri khas Elie Wiesel dalam setiap karyanya, selalu menyelipkan pertanyaan-pertanyaan berbau filosofis sekaligus religius. Tema-tema seputar kehidupan yang diungkap Wiesel dalam novel ini, seperti pencarian kebenaran filosofis ala Razziel akan sosok spiritualitasnya: Paritus, pengkhianatan akan kejujuran yang dilakukan Bruce terhadap wanita-wanita korban rayuannya. Begitu berharganya kesetiaan anak manusia yang dijalin Yoav dengan istrinya, Carmela, meski kematian diambang pintu, perselingkuhan George dengan Pamela yang jauh dari kesan memberontak. Dan penemuan jawaban hati akan cinta sebenarnya Claudia terhadap David. Kelima penumpang ini, meski berbeda masa lalu, disatukan oleh keadaan yang sama dan satu tujuan; kebebasan untuk meneruskan kehidupan. Suatu hal yang menjadi garis hidup dan perjuangan Elie Wiesel dalam menyuarakan betapa pentingnya arti kemanusiaan. Ironinya, pada titik inilah kemanusian Wiesel dipertanyakan. Ia membungkam ketika pelanggaran kemanusiaan Israel terhadap Palestina mulai dipertanyakan dunia. Ada apa dengan Elie Wiesel? Tidak diragukan lagi, setidak-tidaknya, tema dan setting ranah Yahudi dalam Novel –Sang Hakim- ini, sudah cukup menyiratkan secara implisit garis keberpihakkannya pada bangsa Yahudi. Sungguh ironis, orang yang dipahlawankan dunia karena dengan berani menjadikan kemanusiaan sebagai sahabat, ternyata memilih bersikap diam ketika tragedi yang mengancam kemanusiaan jelas-jelas terjadi di depan mata, justru pada saat ia berada dalam posisi orang bebas, bukan sebagai tahanan pihak manapun.

Rabu, 18 November 2009

Menjaga Sains Tetap Manusiawi

Judul : Melacak Jejak Tuhan Dalam Sains: Tafsir Islami Atas Sains Judul asli : Issues in Islam and Science Penulis : Mehdi Golshani Penerbit : PT. Mizan Pustaka Cetakan : I, Juli 2004 Tebal : xxiv + 149 hal.

Kemajuan teknologi yang begitu pesat selama dua abad terakhir membawa konsekuensi yang tidak sedikit bagi kehidupan manusia. Berbagai keberhasilan yang menakjubkan dalam banyak bidang kehidupan, di satu sisi, sedikit banyak tidak lepas dari perkembangan mutakhir sains modern. Sains modern, melalui teknologi yang dihasilkannya, telah memberi manfaat yang begitu besar pada manusia. Kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan nyaman.

Di sisi lain, berbagai tragedi kemanusiaan juga tidak bisa dihindari. Manusia semakin tidak bersahabat dengan alam dan sesamanya. Penemuan atom yang berakhir dengan bom nuklir yang menghancurkan Nagasaki dan Hirosima, perang Dunia I dan II, krisis ekologi berupa pencemaran dan kerusakan yang mengancam kelestarian bumi, bahkan perang antar sesama yang masih saja terjadi hingga kini di Timur Tengah, adalah bukti semakin tidak bijaknya manusia dalam memanfaatkan kemajuan teknologi sains. Tidak bisa dipungkiri, dalam rangka menjaga eksistensinya di muka bumi ini, manusia modern amat berambisi menguasai alam dan lingkungannya. Melalui sains, mereka berusaha mempelajari alam dan seluk beluknya, tetapi karena sains modern menganut asas bebas nilai, maka usaha ini berujung pada eksploitasi alam secara habis-habisan. Sains yang idealnya dapat membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik, pada akhirnya menjadi salah satu ancaman kehidupan manusia karena pemanfaatannya yang buta nilai. Sebenarnya, sejak manusia mulai memikirkan tentang konsepsi alam semesta pada jaman Yunani Kuno, tujuan dari kajian tentang alam tidak banyak berkaitan dengan upaya eksploitasi. Manusia pada masa itu tidak hanya berkutat pada keberadaan alam itu sendiri, namun sudah melangkah jauh menembus dimensi materi menuju dunia transenden. Manusia telah memikirkan hakekat dan eksistensi Tuhan dalam alam raya ini baik dalam bentuk eksplorasi ilmiah ataupun hanya sekadar wacana keilmuan. Upaya sains berdimensi teologis dalam mempelajari alam pada masa Yunani kuno itu semakin dikukuhkan dengan lahirnya agama-agama monoteistik. Karena pengaruh agama monoteistik ini, kajian tentang alam dipandang sebagai upaya untuk memahami kreasi Tuhan. Bahkan, masalah penciptaan alam semesta selalu dikaitkan dengan masalah eksistensi Tuhan. Pandangan sains semacam ini banyak berkembang selama Abad Pertengahan. Sains Abad Pertengahan banyak dipengaruhi premis dan argumen-argumen filosofis tentang keberadaan Tuhan. Kerangka metafisik yang menaungi sains pada masa tersebut dapat memberikan penafsiran yang bersifat teistik tentang alam semesta. Para perintis sains modern, seperti Newton, Boyle dan Einstein juga memiliki pandangan yang hampir sama, dengan meletakkan kerangka metafisik dalam kajian-kajian mereka. Tetapi, dengan munculnya penafsiran mekanistik tentang alam semesta dan dominasi filsafat empirisme, sains lalu memisahkan diri dari perspektif metafisika dan memainkan peran sebagai ideologi yang dominan. Sains modern tidak merasa perlu menghipotesiskan Tuhan dan berusaha menjelaskan fenomena alam tanpa bersandar pada sebab-sebab supranatural. Bahkan, banyak saintis beriman yang mengabaikan realitas-realitas supraindriawi dalam kajian mereka tentang alam. Asumsinya adalah sains normal (normal science) cukup untuk menjelaskan semua fenomena alam, tidak perlu ada embel-embel religius dalam kajian mereka. Atas dasar kenyataan ini, setidak-tidaknya ada dua pandangan mengenai independensi sains. Pertama, sains itu netral. Sains dengan nilainya sendiri sudah cukup untuk menjelaskan fenomena alam yang ada. Kedua, sains itu tidak netral. Pada tataran asumsi-asumsi, sains pada dasarnya menganut nilai-nilai. Sejalan dengan pendapat kedua bahwa sains sarat dengan nilai, Mehdi Golshani, lewat karyanya yang berjudul Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, berusaha menyajikan pandangannya tentang hubungan sains dan agama. Golshani adalah seorang fisikawan yang menjadi guru besar Fisika di Universitas Teknologi Syarif, Iran. Riset utamanya berpusat pada persoalan-persoalan dasar dalam kosmologi dan mekanika kuantum. Dalam bukunya ini, Golshani memaparkan penilaiannya tentang sains modern yang sudah terjebak pada kerangka paradigma sekuler yang lebih berorientasi pada penafsiran bersifat mekanis-empiristik. Sains diyakini dari nilai-nilai diluar sains termasuk nilai-nilai etika yang bersumber dari agama. Akibatnya, sains dan hasil-hasil yang telah dicapainya, terutama penemuan-penemuan teknologi, dapat dengan mudah disalahgunakan bukan untuk kepentingan kemanusiaan. Dalam buku ini yang berjudul asli Issues in Islam and Science, Golshani mencoba menawarkan sains islami sebagai sains yang berlandaskan nilai-nilai universal Islam. Maksudnya bukanlah untuk menggabungkan sains dan Islam secara sembarangan, misalnya hukum gravitasi Newton ala Islam atau bahkan teori relativitas Einstein versi Islam. Tujuannya lebih luas lagi, yakni agar sains modern memiliki kerangka metafisis yang teistik agar mampu berperan dalam meningkatkan peradaban manusia ke arah yang lebih baik. Meskipun pandangannya tentang sains secara filosofis lebih banyak didasarkan pada Al quran dan hadist, Golshani tidak mengabaikan pandangan-pandangan para ilmuwan terkemuka dalam dunia sains modern Barat. Bahkan landasan pemikirannya juga diperkuat nilai-nilai universal agama monoteistik seperti termuat dalam agama Kristen. Dengan memandang “sains islami” berada satu jalur dengan ”sains Kristiani”, tampaknya Golshani juga ingin mengajak ilmuwan Kristen untuk melakukan aktivitas serupa dalam kerangka teologis Kristen. Begitu juga para ilmuwan penganut agama monoteistik lainnya. Dengan meletakkan sains dalam kerangka metafisis yang teistik, maka sains tidak akan mereduksi alam hanya pada ranah materi saja tetapi juga mengakui nilai-nilai transendennya. Sehingga sains tidak hanya diarahkan untuk melayani ambisi materialis belaka, tetapi juga untuk menjaga nilai-nilai etik ekologi maupun kemanusiaan. Dalam kerangka ini, sains diharapkan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tujuan perbaikan kehidupan umat manusia, dan bukannya untuk mempercanggih alat-alat destruktif yang dapat merusak kehidupan manusia.

Menjadikan Cinta sebagai Etika Beragama

Judul : Wajah Cinta Islam dan Kristen: Sumbangan Etika Religius Judul asli : Love in Christianity and Islam: A Contribution to Religious Ethics Penulis : Mahnaz Heydarpoor Penerbit : Penerbit Arasy, PT. Mizan Pustaka Cetakan : I, Maret 2004 Tebal : 168 hal. Diakui atau tidak, sejarah kelam hubungan antar agama yang penuh dengan kebencian dan permusuhan berdampak pada tumbuhnya stereotip dan prasangka antar pemeluk agama. Penaklukan Semenanjung Iberia oleh kaum Muslim, Perang Salib, jatuhnya Konstantinopel, hingga imperialisme Barat pada abad ke-19 dan ke-20, telah menyisakan benih-benih kebencian dan permusuhan tersebut. Benih konflik dan permusuhan inipun berlanjut hingga sekarang seperti di Timur Tengah yang masih saja bergolak antara Islam Palestina dan Yahudi Israel, di Irlandia Utara antara kaum Katolik dan kaum Protestan, perselisihan umat Hindu dan umat Muslim di India. Bahkan sejak peristiwa 11 September, perang global melawan terorisme yang disponsori Amerika Serikat berdampak pada situasi chaos di negara-negara Islam seperti Afganistan dan Irak. Meskipun banyak dibantah, perang melawan terorisme ini masih banyak menyimpan prasangka “benturan antar peradaban” yang puluhan tahun lalu pernah digembar-gemborkan Samuel Huntington. Meskipun banyak hal yang tidak menguntungkan dan patut disesalkan, toh masih banyak aspek positif yang dapat digali dari sejarah hubungan antar agama dan peradabannya masing-masing. Kita tidak mungkin melupakan berbagai sumbangan masing-masing agama dan peradabannya terhadap khasanah kekayaan intelektual dan kultural saat ini seperti dalam seni, arsitektur, filsafat, kedokteran, ilmu pengetahuan alam, sosial, matematika, kesusastraan, dan lainnya. Berbagai kesesuaian dalam bidang teologi diantara agama-agama juga sangat kurang diminati dan dipelajari. Para penganut agama seolah bersikap apatis, tidak mau tahu, dan cenderung menganggap agamanya yang ‘benar’. Padahal dengan adanya usaha untuk saling mengenal agama-agama, diharapkan akan tumbuh rasa saling mengerti dan memahami perbedaan yang ada. Jika ini tercapai, manusia bisa hidup damai tanpa harus setiap saat diliputi kecurigaan dan prasangka. Buku Wajah Cinta Islam dan Kristen: Sumbangan Etika Religius ini ditulis dengan semangat untuk menumbuh suburkan dialog antar agama, khususnya antara agama Kristen dan Islam. Buku yang berjudul asli Love in Christianity and Islam: A Contribution to Religious Ethics ini adalah karya seorang ilmuwan muda Syi’ah berkebangsaan Iran, Mahnaz Heydarpoor. Ia lulus sebagai sarjana dari universitas Qum Iran yang termasyhur itu dan kemudian melanjutkan studi di universitas Metropolitan Manchester, Inggris. Buku ini merupakan salah satu bagian dari tema desertasinya tentang etika agama dan pokok-pokok cinta dalam agama Islam dan Kristen. Dalam buku ini Mahnaz menuangkan segala pemahamannya tentang pokok-pokok ajaran Kristen yang tidak hanya didapatnya dari buku-buku literatur, melainkan juga bersentuhan langsung melalui pergaulannya dengan umat Kristen dari bermacam kelompok dan latar belakang yang berbeda. Hal inilah yang membuat analisanya tentang cinta dalam agama Kristen terasa sangat mendalam dan begitu ilmiah. Di sisi lain, karena pengetahuan keislamannya yang luas, penggambarannya tentang sentralitas cinta dalam Islam juga sangat kaya dan inspiratif. Dalam etika Kristen, kebajikan secara umum diformulasikan menjadi tujuh prinsip. Empat prinsip pertama adalah kebajikan alami meliputi kebijaksanaan, kesederhanaan, keberanian dan keadilan. Sedang tiga prinsip selanjutnya berkaitan dengan kebajikan teologis, seperti iman, harapan, dan cinta kasih. Di antara tiga kebajikan teologis yang terakhir ini yang paling besar dan utama adalah prinsip cinta kasih. Dalam agama Kristen, cinta menjadi tolok ukur yang menentukan. Begitu banyak kewajiban yang harus diperhatikan sekaligus ditunaikan dalam agama, tetapi prioritas harus diberikan pada cinta. Sedemikian pentingnya cinta, sampai-sampai Yesus sendiri dalam ajarannya menekankan hukum yang paling utama, di antara sekian banyak hukum yang ada, adalah mencintai Tuhan dan mencintai sesama manusia. Manusia dalam hal ini tidak terbatas pada sejumlah kelas atau kelompok manusia tertentu bahkan telah melampaui batas-batas sosial dan agama. Konsep cinta juga adalah salah satu konsep paling penting dalam filsafat, teologi, mistisisme, dan etika Islam, bahkan dalam beberapa aspek, cinta berperan paling penting. Cinta menduduki peran terpenting dalam mendefinisikan pandangan Islam tentang hubungan antara Tuhan dan seluruh alam semesta pada umumnya, dan antara Tuhan dan manusia pada khususnya,. Bahkan kedudukan cinta sejajar beriringan dengan iman, sebagaimana diriwatkan dalam hadis Nabi: ‘Iman adalah cinta, dan cinta adalah iman’. Dengan kata lain, iman ada hanya ketika seseorang mencintai keyakinan agama dan bukan hanya mengetahuinya. Salah satu aspek cinta dalam Islam adalah cinta dianggap sejajar dengan ’kebencian karena Allah’. Seseorang harus mencintai sesuatu karena Allah dan membencinya karena Allah. Dan bila menyangkut hubungan antar sesama manusia, maka cinta yang ada haruslah bersifat rasional dan masuk akal, yaitu cinta yang melibatkan kebaikan dan kepentingan umat manusia dan tidak terbatas pada sejumlah orang saja. Baik agama Kristen dan Islam memandang cinta sebagai gagasan pokok dalam agama. Dalam kedua agama ini, cinta kepada Tuhan bersifat universal. Ia dilaksanakan oleh semua makhluk, dan cinta ini meluas kepada sesama manusia tanpa memandang latar belakang agama dan sosialnya. Para penganut agama yang telah mengecap manisnya cinta dengan sendirinya akan mengeliminasi bahkan melenyapkan sama sekali apapun yang bersifat stereotipe dan kebencian terhadap umat manusia apapun agamanya. Buku mungil ini dapat menjadi jembatan bagi terciptanya rasa saling menghargai dan memahami khususnya di antara umat Islam dan umat Kristen. Cinta yang digali dari kedua tradisi agama tersebut dapat menjadi obat mujarab bagi luka lara yang diwariskan oleh berabad-abad kebencian dan kesalahpahaman dalam hubungan di masa lalu. Di atas landasan cinta itu pula dapat dibangun kehidupan umat manusia yang plural tanpa menjadikan perbedaan sebagai ancaman.

Mengatasi Trauma dengan Cinta

Judul : Sheila: Kenangan yang Hilang Judul asli : The Tiger’s Child Penulis : Torey Hayden Penerbit : Qonita, Bandung Edisi : Agustus 2003 Tebal : 528 halaman Jauh di dalam diri setiap manusia terdapat kekuatan yang masih tertidur nyenyak. Kekuatan yang tidak pernah terbayangkan mereka miliki. Apabila kekuatan itu berhasil dibangkitkan dan diaktifkan, kehidupan dengan cepat bisa diubah. Pernyataan psikolog Orison Marden dari Amerika ini tampaknya amat disadari oleh Torey Hayden, seorang guru sekaligus psikolog bagi anak-anak yang mengalami gangguan mental dan emosional, untuk terus menggali potensi luar biasa dibalik ‘ketidaknormalan’ anak didiknya. Berbekal pengalaman menarik yang pernah ia alami, Torey mencoba menuliskan sebagian riwayat kehidupannya, yang sebagian besar ia abdikan dengan gigih untuk “menormalkan” anak-anak didiknya. Lewat tulisan biografi tentang anak-anak yang mengalami gangguan mental dan emosional yang parah itu, Torey berusaha menyajikan fakta yang mungkin selama ini terabaikan oleh kita. Kita terlanjur bahkan cenderung sudah melabelkan cap klinis, anak-anak dengan kondisi demikian dianggap abnormal. Melanjutkan kisah sebelumnya, Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, Torey mencoba menghadirkan kembali tokoh Sheila dalam wujudnya yang lain, seorang gadis remaja usia belasan tahun. Sheila: Kenangan yang Hilang, yang buku aslinya berjudul The Tiger’s Child (1995), diawali dengan kilas balik perjalanan awal Torey Hayden ketika menangani sembilan anak yang masing-masing membawa masalah gangguan emosional dan mental yang berat, dari gangguan bahasa, aktualisasi, kognitif, hingga adaptasi dan sosialisasi dengan lingkungan. Menjadi tokoh sentral dalam cerita Torey adalah Sheila, seorang gadis usia enam tahun dengan masa lalu yang menyakitkan. Gadis cilik itu pernah didorong ke luar mobil oleh ibu kandungnya dan ditinggal pergi untuk selamanya. Ia juga pernah mengalami kekerasan seksual oleh pamannya sendiri. Sementara kekerasan fisik ia terima dari ayah kandungnya yang pemabuk yang atas perbuatannya itu harus lebih banyak tinggal di penjara. Latar belakang keluarga yang berantakan dan penuh kekerasan ini telah melukai jiwa Sheila. Luka itulah yang mendorong perilaku destruktifnya. Pada usia enam tahun ia pernah menculik balita laki-laki dan membakarnya sampai hampir mati. Meskipun hanya mengalami kebersamaan selama kurang lebih lima bulan, namun hubungan yang terjalin antara Torey dan Sheila, telah menimbulkan perubahan dramatis dalam perilaku Sheila. Kini setelah tujuh tahun perpisahan semenjak kelas Torey untuk selamanya ditutup, Sheila kecil telah berubah menjadi gadis empat belas tahun dengan penampilan yang jauh berbeda. Inilah perjumpaan pertama kali Torey dengan bekas muridnya, seorang remaja berpenampilan urakan, berambut keriting warna oranye menyala dan bergaya ala punk. Sungguh berbeda dengan Sheila kecil yang pernah dikenalnya. Torey dihadapkan pada kenyataan bahwa Sheila sekarang sama bermasalahnya dengan Sheila kecil. Torey-pun berusaha untuk mengingatkan kembali masa-masa yang pernah dilalui Sheila kecil dimana ia pernah menjadi gurunya dan berhasil membawanya dari perilaku tak terkendali, meledak-ledak, mudah tidak percaya, mudah tersinggung dan sering membuat gangguan, ke bentuk perilaku lebih akomodatif dan bisa mengendalikan diri. Namun apa yang diharapkan terlalu jauh, Sheila dewasa benar-benar tidak ingat apa-apa, amnesia yang begitu aneh (hal 130). Teka-teki itu mulai terjawab ketika Sheila dilibatkan dalam program sekolah khusus untuk anak-anak dengan gangguan mental dan emosional, persis bentuknya dengan sekolah yang ia dulu pernah menjadi muridnya. Di sekolah itu Sheila menjadi dekat secara emosional dengan salah seorang murid yang menurut orang tua angkatnya ditemukan di jalan. Sheila, seperti diingatkan masa lalunya, begitu mendengar berita anak lelaki tujuh tahun itu akan “dibuang” ke penampungan anak terlantar oleh orang tua angkatnya disebabkan kelemahan fungsi mentalnya, ia memutuskan untuk menculik si anak laki-laki tersebut. Peristiwa penculikan ini membuka kembali memori Torey tentang Sheila kecil. Pengalaman ditinggal ibunya di jalan ternyata demikian membekas dalam diri Sheila. Sebagian besar kenangan masa kecilnya yang penuh trauma itu ternyata tidak benar-benar hilang, tapi hanya ditekan di bawah sadar. Bagian terbesar dari buku ini lebih menunjukkan perjuangan Torey untuk membuka kembali masa lalu Sheila. Dan bangkitnya keberanian Sheila untuk “menonton” kisah hidupnya sendiri. Dan berkat pendekatan “terlibat” dari Torey yang berlandasakan pada sikap empatik dan kasih seorang ibu, Sheila mampu memaafkan masa lalunya. Kesediaan untuk memaafkan inilah yang pada akhirnya menjadi kunci keberhasilan Sheila membuang beban masa lalunya dan menatap masa depan secara lebih optimis. Penekanan selanjutnya dari buku ini terutama diarahkan Torey pada hubungan yang ia jalin dengan Sheila. Hubungan yang tidak hanya sekedar hubungan antara mantan guru dan murid, tetapi lebih dari itu. Hubungan yang hanya bisa dipahami dengan kacamata seorang ibu terhadap anaknya sendiri. Torey berhasil meyakinkan kekuatan hubungan antara ‘ibu dan anak’ ini. Torey jelas dengan sadar berusaha mengkritik pendekatan psikologis yang begitu ketat dan kaku mengontrol perkembangan anak dan remaja awal. Terutama melalui modifikasi perilaku dengan pendekatan pemberian hadiah dan hukuman (reward and punishment). Terlebih lagi jika ini dilakukan terhadap anak-anak yang mengalami gangguan mental emosional. Bagi Torey Hayden, dengan pendekatan layaknya ‘seorang ibu’ terhadap anaknya, anak-anak dengan gangguan kejiwaan akan lebih mudah ditangani. Karena pada dasarnya mereka adalah manusia juga seperti kita. Mereka tidaklah bermasalah, yang bermasalah adalah masyarakat tempat tinggal mereka yang sengaja maupun tak sengaja mengasingkan keberadaan mereka. Bagi praktisi, peminat dan pemerhati masalah anak, psikolog, psikiater, guru, akademisi, hingga relawan tempat singgah, panti asuhan dan lainnya, buku Sheila: Kenangan yang Hilang ini sangat berguna sebagai bacaan penunjang sekaligus pembanding, untuk menentukan langkah terbaik apa yang harus diambil dalam mengintervensi kehidupan anak-anak bermasalah. Tujuan akhirnya adalah memposisikan kembali anak-anak dengan gangguan mental emosional seperti layaknya kehidupan kita sendiri, karena mereka adalah bagian dari masyarakat dan bukannya diluar sistem masyarakat yang harus dipisahkan, terlebih lagi dianggap “gila”.

Selasa, 17 November 2009

SeSuaTu uNtUk SAhAbAt.........TeMaN aTaU enTaH ApaLaH dIa IngIn DiPaNggIL

Pernah suatu ketika seorang dengan harapan tinggi membumbung langit berujar dalam hati....aku harus bisa, bisa menaklukkan apa yang kukuatirkan.....tak terasa 12 tahun berlalu...dan sekarang ia harus menatap lantang masa depan di ujung nun jauh.....tak sadar setiap langkahnya meninggalkan jejak terpendam yang sesekali oleh hanyutan angin tersapu ... bersih tak bersisa....dia sudah memastikan sebagai manusia pilihan yang disaat ia ada, ia ingat pernah tiada, disaat ia merenung hidup ia ingat sekejap nyawa pernah menyiksa.....yakinlah teman.....hidup tidak sendirian....justru disaat kau merasa sendiri kau akan ingat dulu pernah bersama meski hanya sesuap asa digantang, sehelai nafas disusun dalam rangkaian hari demi hari, bersama orang-orang yang tak pernah terbayang ada dalam hidup dan kehidupan kita........

Sebuah dunia......masih pekat

Terbangun... Terkepar dalam buaian malam Meradang dalam pekat mata Merajuk dalam gelisah mendekap dada Meraba galau bergelimang resah menyayat Kulihat malam menganga... Masih setia dalam pelukan bintang gemintang Seulir lembar putih berenang dalam angan mayapada Begitu halus membelai hingga bintang tak berkejap Perlahan lenyap memudar tak berjejak..... Masih pekat... Sebuah dunia...... Terang hanyalah gamang Makanan peri-peri fajar Berlabuh dalam cakrawala Berlayar dari sisi-sisi jingga Yang ada hanya secercah hingga merekah sayap..... Masih pekatkah.... Sebuah duniakah.... ((Diselesaikan pada 22 Juni 09, tanpa tahu apakah akan berakhir atau musnah.....))

New Day

Laiknya fajar menyapa Menghembus aura niscaya pagi Tersusun dalam untaian embun mengalun Berdiri menantang pendar mentari Aku adalah rencana Dalam genggaman masa memuja Terseok mengukir satu per satu jejak di bumi Berharap indah terukir dalam dalam Permulaan seperti hari baru Digantang asa membumbung langit ke tujuh Searah hembusan dunia bergerak padu Melaju tanpa batas memulai dengan hangat hasrat tercipta Semoga...........