Sabtu, 28 November 2009

BEBAS DARI BELENGGU DERITA

Judul : Buddha Judul asli : Buddha Penulis : Karen Armstrong Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : Kedua, Juli 2005 Tebal : 238 hal + xxx Sejak dahulu, manusia memanfaatkan agama untuk membantu memahami kehidupan bahwa hidup kita mempunyai arti dan nilai hakiki. Pemaknaan hidup serasa sebagai kebutuhan fundamental tatkala manusia dalam kehidupannya sehari-hari, sudah semakin banyak dicarutmarutkan dengan urusan dunia dalam pemenuhan kebutuhan fisik. Manusia memerlukan agama sebagai “jalan” untuk menggali kembali nilai kemanusiaannya, meskipun terkadang mitos-mitos dan ritual-ritual keagamaan yang merupakan unsur utamanya tampaknya tak masuk akal. Dilema manusia post-modern yang ditandai dengan gejala individualisme, sebagai akibat perubahan pola masyarakat dari komunal menjadi ekonomi pasar yang kompetitif, justru membawa sisi ironisme tersendiri. Manusia terjebak dalam rutinitas yang tidak saja menghabiskan rentang waktu dalam hidup, tetapi malahan membuka ruang pada dirinya untuk mengingkari penderitaan yang menimpa diri kita dan sesama, serta menutup diri dalam kondisi apatisme untuk menjaga perasaan kita sendiri. Siddharta Gautama, sang Buddha yang melegenda, adalah sosok yang kisah hidup dan pencarian spiritualnya tak henti-hentinya dimaknai dan dijadikan sumber ilham oleh banyak “pencari pencerahan” hingga melampaui sekat-sekat formal berbagai agama. Sama seperti Buddha, yang hidup di masa transisi di India Utara dalam kurun waktu 600-an hingga 500-an SM, kita saat ini juga mengalami krisis sosial, kekerasan politik, dan tragedi kemanusiaan yang mengaburkan nalar dan menciptakan apatisme. Karen Armstrong, penulis buku Sejarah Tuhan, berusaha mengabadikan kehidupan Buddha apa adanya. Melalui buku biografi yang berjudul Buddha, Karen berusaha menguak misteri yang menyelubungi si manusia “tercerahkan” ini dengan menggali informasi berdasar kitab yang ditulis dalam bahasa Pali, bahasa berdialek India Utara saat itu. Meskipun lebih banyak dilingkupi kisah-kisah legenda, toh ini sudah merupakan nilai historis tersendiri. Bagi Buddha, adalah yang terpenting ajaran-ajarannya, bukan sisi-sisi kepribadian dan kehidupannya. Buddha lahir sekitar tahun 563 SM, meninggalkan rumah mewahnya dan keluarganya di kerajaan Kapilawasthu di kaki pegunungan Himalaya pada tahun 534 SM (Heinz Berchant). Kegamangan memaknai kehidupan manusia setelah melihat rangkaian peristiwa yang sarat derita, yang dimulai dengan trauma karena kelahiran dan terus berlanjut hingga penuaan, sakit, kematian, kesedihan dan keserakahan di kerajaan ayahnya, membuatnya memutuskan meninggalkan semua yang telah dimilikinya. Sang Buddha yang saat itu berumur 29 tahun, memulai perjalanan spiritualnya dengan menempuh kehidupan suci, mengembara dan pertapaan, usaha yang dianggap mulia pada saat itu. Dengan banyaknya metode dan teknik pencarian spiritual dari berbagai aliran yang berkembang saat itu, justru membuatnya tidak puas dan terus saja mencari. Berbagai aliran kepercayaan yang ada dianggap tidak sesuai bagi dirinya sehingga ia memutuskan untuk merintis jalur sendiri dan menerapkan dhamma tanpa bimbingan seorang guru. “Aku yakin, ada jalan lain untuk mencapai pencerahan!” kata Gautama (hal. 76). Pencerahan Gautama terjadi pada tahun 528 SM saat ia duduk dalam posisi asana (meditasi) di bawah sebuah pohon Bodhi. Unsur terpenting dari kebenaran yang ia “temukan” adalah bahwa hidup yang ideal adalah hidup berdampingan dengan orang lain. Inilah “jalan tengah” yang berusaha mengakomodasi kehidupan akhirat ala brahmana dan kehidupan dunia di sisi lain agar tetap berjalan seimbang dan tidak timpang sebelah. Iapun menahbiskan 40 tahun berikutnya berkelana tak kenal lelah ke berbagai penjuru di dataran sungai Gangga, untuk mengajarkan Dhammanya. Cinta kasih dan kerelaan tanpa pamrih merupakan konsep pokok dalam pencerahan Buddha. Filosofi keagamaan di India yang menghendaki kedamaian dan kehidupan abadi, tampaknya sejalan dengan risalah-risalah yang dibawa Buddha dan membuat ajarannya segera menyebar luas dan mudah diterima. Buddha telah menjadi simbol spiritualitas. Ia adalah sosok manusia baru yang telah terlatih untuk mendisiplinkan jiwanya agar hidup tanpa sikap egois. Ia masih hidup di dunia, tapi telah mendiami dimensi keramat lain, yang oleh para penganut monoteisme disebut sebagai eksistensi ketuhanan. Buddha sangat menghindari kultus individu. Saat mencapai pencerahan, ia berharap ajarannya sendiri akan dilupakan. Buddha mengibaratkan ajarannya mirip rakit yang dipakai menyeberangi sungai dan kemudian dibuang. Ajaran Buddha bersifat sederhana, tujuannya bukan untuk menjabarkan konsep-konsep yang sempurna ataupun mengenai masalah-masalah metafisik. Tujuan utamanya membuat orang mampu menyeberangi samudra penderitaan menuju “pantai tujuan”. Karenanya, tidak ada teori-teori yang rumit mengenai penciptaan alam semesta ataupun eksistensi Tuhan. Laiknya konsep Diri, konsepsi ketuhanan dapat dipakai untuk merangsang dan mendorong perilaku egoistik. Orang Islam, Yahudi, dan Kristen yang paling saleh akan menyadari bahaya perilaku egois dan akan merujuk pada Tuhan yang senada dengan sikap berdiam diri Buddha jika ditanya mengenai masalah Nibbana (Nirvana). Mereka juga yakin bahwa Tuhan bukanlah sesuatu yang lain, bahwa persepsi kita mengenai “kehidupan” sangat terbatas sehingga lebih tepat jika dikatakan bahwa Tuhan itu tidak ada dan bahwa “Tuhan” itu bukan apa-apa. Tapi bagi pemeluk agama tertentu, benar bahwa “Tuhan” sering mengalami erosi makna. Tuhan sering kali direduksi menjadi objek sesembahan yang dibentuk dalam gambaran dan dianggap menyerupai para pemujanya. Tuhan yang terbatas ini mempunyai andil bagi kemunculan kekejian agama yang terburuk dalam sejarah. Buddha yakin bahwa kehidupan yang tanpa pamrih akan mengantarkan manusia menuju Nibbana. Konsepsi ini bagi penganut monoteisme dianggap dapat dijadikan sebagai jalan untuk menyatu dengan Tuhan. Tapi bagi Buddha, konsep ketuhanan yang personal seperti ini terlalu dangkal, berbeda dengan konsep yang diusungnya, menempatkan Kebenaran tertinggi hanyalah makhluk. Nibbana bukanlah tempat atau sosok tertentu seperti Surga. Buddha selalu tidak mengakui adanya prinsip absolut ataupun Makhluk Tertinggi karena bisa membebani dan menghambat pencerahan. Namun, segala sesuatu bersifat fana. Ada kelahiran ada kematian. Buddha merasakan kepadaman, yang ironisnya, merupakan realitas tertinggi dan tujuan hakiki dari umat manusia. Ia laksana nyala api yang padam oleh tiupan angin, akan beristirahat dan tak bisa digambarkan. Demikianlah yang tercerahkan telah lepas dari belenggu ego. Ia akan beristirahat dan tak bisa dilukiskan. Lampaui segala yang ada di dunia. Lampaui kekuatan kata-kata ( Sutta-Nipata, 5: 7). Ia adalah manusia yang telah mengubah dunia, membebaskan dari samsara keserakahan, kebencian dan kebodohan. Namun begitu, ia tidak lagi terpengaruh oleh keadaan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar