Rabu, 18 November 2009

Menjaga Sains Tetap Manusiawi

Judul : Melacak Jejak Tuhan Dalam Sains: Tafsir Islami Atas Sains Judul asli : Issues in Islam and Science Penulis : Mehdi Golshani Penerbit : PT. Mizan Pustaka Cetakan : I, Juli 2004 Tebal : xxiv + 149 hal.

Kemajuan teknologi yang begitu pesat selama dua abad terakhir membawa konsekuensi yang tidak sedikit bagi kehidupan manusia. Berbagai keberhasilan yang menakjubkan dalam banyak bidang kehidupan, di satu sisi, sedikit banyak tidak lepas dari perkembangan mutakhir sains modern. Sains modern, melalui teknologi yang dihasilkannya, telah memberi manfaat yang begitu besar pada manusia. Kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan nyaman.

Di sisi lain, berbagai tragedi kemanusiaan juga tidak bisa dihindari. Manusia semakin tidak bersahabat dengan alam dan sesamanya. Penemuan atom yang berakhir dengan bom nuklir yang menghancurkan Nagasaki dan Hirosima, perang Dunia I dan II, krisis ekologi berupa pencemaran dan kerusakan yang mengancam kelestarian bumi, bahkan perang antar sesama yang masih saja terjadi hingga kini di Timur Tengah, adalah bukti semakin tidak bijaknya manusia dalam memanfaatkan kemajuan teknologi sains. Tidak bisa dipungkiri, dalam rangka menjaga eksistensinya di muka bumi ini, manusia modern amat berambisi menguasai alam dan lingkungannya. Melalui sains, mereka berusaha mempelajari alam dan seluk beluknya, tetapi karena sains modern menganut asas bebas nilai, maka usaha ini berujung pada eksploitasi alam secara habis-habisan. Sains yang idealnya dapat membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik, pada akhirnya menjadi salah satu ancaman kehidupan manusia karena pemanfaatannya yang buta nilai. Sebenarnya, sejak manusia mulai memikirkan tentang konsepsi alam semesta pada jaman Yunani Kuno, tujuan dari kajian tentang alam tidak banyak berkaitan dengan upaya eksploitasi. Manusia pada masa itu tidak hanya berkutat pada keberadaan alam itu sendiri, namun sudah melangkah jauh menembus dimensi materi menuju dunia transenden. Manusia telah memikirkan hakekat dan eksistensi Tuhan dalam alam raya ini baik dalam bentuk eksplorasi ilmiah ataupun hanya sekadar wacana keilmuan. Upaya sains berdimensi teologis dalam mempelajari alam pada masa Yunani kuno itu semakin dikukuhkan dengan lahirnya agama-agama monoteistik. Karena pengaruh agama monoteistik ini, kajian tentang alam dipandang sebagai upaya untuk memahami kreasi Tuhan. Bahkan, masalah penciptaan alam semesta selalu dikaitkan dengan masalah eksistensi Tuhan. Pandangan sains semacam ini banyak berkembang selama Abad Pertengahan. Sains Abad Pertengahan banyak dipengaruhi premis dan argumen-argumen filosofis tentang keberadaan Tuhan. Kerangka metafisik yang menaungi sains pada masa tersebut dapat memberikan penafsiran yang bersifat teistik tentang alam semesta. Para perintis sains modern, seperti Newton, Boyle dan Einstein juga memiliki pandangan yang hampir sama, dengan meletakkan kerangka metafisik dalam kajian-kajian mereka. Tetapi, dengan munculnya penafsiran mekanistik tentang alam semesta dan dominasi filsafat empirisme, sains lalu memisahkan diri dari perspektif metafisika dan memainkan peran sebagai ideologi yang dominan. Sains modern tidak merasa perlu menghipotesiskan Tuhan dan berusaha menjelaskan fenomena alam tanpa bersandar pada sebab-sebab supranatural. Bahkan, banyak saintis beriman yang mengabaikan realitas-realitas supraindriawi dalam kajian mereka tentang alam. Asumsinya adalah sains normal (normal science) cukup untuk menjelaskan semua fenomena alam, tidak perlu ada embel-embel religius dalam kajian mereka. Atas dasar kenyataan ini, setidak-tidaknya ada dua pandangan mengenai independensi sains. Pertama, sains itu netral. Sains dengan nilainya sendiri sudah cukup untuk menjelaskan fenomena alam yang ada. Kedua, sains itu tidak netral. Pada tataran asumsi-asumsi, sains pada dasarnya menganut nilai-nilai. Sejalan dengan pendapat kedua bahwa sains sarat dengan nilai, Mehdi Golshani, lewat karyanya yang berjudul Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, berusaha menyajikan pandangannya tentang hubungan sains dan agama. Golshani adalah seorang fisikawan yang menjadi guru besar Fisika di Universitas Teknologi Syarif, Iran. Riset utamanya berpusat pada persoalan-persoalan dasar dalam kosmologi dan mekanika kuantum. Dalam bukunya ini, Golshani memaparkan penilaiannya tentang sains modern yang sudah terjebak pada kerangka paradigma sekuler yang lebih berorientasi pada penafsiran bersifat mekanis-empiristik. Sains diyakini dari nilai-nilai diluar sains termasuk nilai-nilai etika yang bersumber dari agama. Akibatnya, sains dan hasil-hasil yang telah dicapainya, terutama penemuan-penemuan teknologi, dapat dengan mudah disalahgunakan bukan untuk kepentingan kemanusiaan. Dalam buku ini yang berjudul asli Issues in Islam and Science, Golshani mencoba menawarkan sains islami sebagai sains yang berlandaskan nilai-nilai universal Islam. Maksudnya bukanlah untuk menggabungkan sains dan Islam secara sembarangan, misalnya hukum gravitasi Newton ala Islam atau bahkan teori relativitas Einstein versi Islam. Tujuannya lebih luas lagi, yakni agar sains modern memiliki kerangka metafisis yang teistik agar mampu berperan dalam meningkatkan peradaban manusia ke arah yang lebih baik. Meskipun pandangannya tentang sains secara filosofis lebih banyak didasarkan pada Al quran dan hadist, Golshani tidak mengabaikan pandangan-pandangan para ilmuwan terkemuka dalam dunia sains modern Barat. Bahkan landasan pemikirannya juga diperkuat nilai-nilai universal agama monoteistik seperti termuat dalam agama Kristen. Dengan memandang “sains islami” berada satu jalur dengan ”sains Kristiani”, tampaknya Golshani juga ingin mengajak ilmuwan Kristen untuk melakukan aktivitas serupa dalam kerangka teologis Kristen. Begitu juga para ilmuwan penganut agama monoteistik lainnya. Dengan meletakkan sains dalam kerangka metafisis yang teistik, maka sains tidak akan mereduksi alam hanya pada ranah materi saja tetapi juga mengakui nilai-nilai transendennya. Sehingga sains tidak hanya diarahkan untuk melayani ambisi materialis belaka, tetapi juga untuk menjaga nilai-nilai etik ekologi maupun kemanusiaan. Dalam kerangka ini, sains diharapkan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tujuan perbaikan kehidupan umat manusia, dan bukannya untuk mempercanggih alat-alat destruktif yang dapat merusak kehidupan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar