Sabtu, 28 November 2009

Ironisme Seorang Pegiat Kemanusiaan

Judul : Sang Hakim Judul asli : The Judges: A Novel Penulis : Elie Wiesel Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : I, Februari 2005 Tebal : 368 hal +xvi Manusia terkadang tidak bisa memahami rahasia Tuhan, ada apa dibalik kehidupan yang dianugerahkan pada kita. Tapi tidak bagi seorang Elie Wiesel, pengarang besar berdarah Yahudi. Ia bisa mengambil hikmah dari takdirnya, menjadi salah satu manusia yang berhasil hidup dan bertahan selamat di antara empat puluh juta jiwa yang tewas, saat pendudukan rezim Nazi di Rumania pada tahun 1943. Tidak terbayangkan sama sekali hingga detik hari ini, menjadi saksi mata kekejaman Nazi atas bangsanya, bahkan keluarganya sendiri, enam puluhan tahun silam. Sebagai saksi hidup dari sebuah tragedi besar kemanusiaan, Elie Wiesel, menyadari keberuntungannya sebagai suatu anugerah yang tidak sia-sia. Tidak sia-sia, karena tidak seperti korban selamat yang lain yang lebih memilih diam dan mengubur dalam-dalam kenangan buruk tersebut, ia malah dengan berani membongkar dan menunjukkan pada dunia lewat buku-bukunya. Dari tulisannya, lahir sejumlah karya yang terinspirasi latar suram nan pedih nasib Yahudi di tangan Nazi-Jerman. Tak hanya sampai di situ, ia adalah corong terdepan yang begitu gigih dalam mengkampanyekan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, melalui sejumlah konferensi internasional tentang peringatan Holocaust dan kekejaman Nazi. Kiprah dan semangatnya yang tak henti dalam mengingatkan dunia akan persamaan hak asasi manusia dan kemanusiaan, mengantarnya memperoleh The Congressional Medal of Honor dari pemerintah Amerika Serikat dan Nobel Perdamaian pada tahun 1986. Kepiawaian menuangkan kegelisahan hatinya dalam tulisan-tulisan susastranya, dibuktikan Wiesel dengan telah menghasilkan lebih dari empat puluh buku, termasuk buku best-sellernya, Night dan A Beggar in Jerusalem yang memenangi Prix Medicis. Pun hal ini diimbangi dengan kritik-kritiknya terhadap apa yang disebutnya sebagai “sikap diam dunia” tatkala tragedi kemanusiaan terjadi di berbagai belahan bumi. Sebut saja pelanggaran hak asasi Cina terhadap Tibet, pembersihan etnis di Bosnia, bahkan nasib tak jelas para manusia perahu asal Vietnam. Tidak semua karyanya menceritakan sangkut paut hubungan antara Nazi dan Yahudi, seperti yang dilukiskan dalam triloginya: La Nuit, bagian pertama yang diilhami malam panjang di kamp Buchenwald, disusul sekuelnya Dawn dan Accident. Novel berjudul -Sang Hakim- ini, dalam beberapa esai kritik, termasuk dalam thriller berlatar modern. Tema utama yang diangkat adalah the question of spirituality and humanity. Mencoba menggali makna-makna etika spiritual dan kemanusiaan, sebuah tema yang tak pernah lepas dari kehidupan Wiesel sendiri, dan diperolehnya dari perjuangan bertahan hidup dalam kamp konsentrasi. Novel ini yang merupakan terjemahan dari The Judges: A Novel (New York, 2002), mengisahkan perjuangan lima orang diantara para penumpang pesawat yang terpaksa mendarat karena cuaca buruk. Mereka berlima dengan karakter dan latar belakang kehidupan yang berbeda, ditampung di sebuah rumah penduduk yang sama. Rumah yang tidak seorang pun bisa keluar bila sudah berada didalamnya, lebih mirip ruang observasi dimana sang tuan rumah bisa dengan bebas mengamati gerak gerik para tamunya tanpa diketahui. Orang pertama, satu-satunya wanita, Claudia, yang baru saja meninggalkan suaminya dan menemukan cinta barunya. Razziel, orang kedua, seorang guru agama yang pernah menjadi tahanan politik, dan kini mencari kebenaran untuk menemukan sang “juru selamat”. Orang ketiga, Yoav, seorang tentara Yahudi Israel yang divonis menderita tumor ganas diotaknya, mencoba bertahan untuk sekedar memanfaatkan sisa umur dengan menemui sang istri dan menjalani kehidupan normal. George, seorang ahli kearsipan yang ditangannya ada sebuah dokumen rahasia yang bisa menjatuhkan seorang politisi berpengaruh, dan Bruce, orang kelima, si perayu ulung yang sadar akan dosa-dosanya membuat banyak hati wanita kecewa dan patah, dan kini ingin menemui cinta sejatinya. Namun kenyataan berbicara lain, alih-alih mendapat kenyaman berlindung dari hujan badai salju yang terus menggila, mereka harus menghadapi kematian yang justru datang dari sang penolong. Tuan rumah mereka, seorang lelaki misterius yang menyebut dirinya “Sang Hakim”, mulai menginterogasi dan menanyai mereka satu per satu laiknya dalam sebuah persidangan. Memaksa mereka menghadapi kebenaran dan mempertanyakan makna hidup selama ini. Namun tak berapa lama, sang hakim mengumumkan bahwa salah seorang diantara mereka yang berada di rumahnya, orang yang paling tak berharga, akan mati sebelum fajar menyingsing. Belum hilang rasa penasaran pada sosok si hakim yang menyimpan misteri dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis, dan cenderung menggugat eksistensi terdalam, mereka berlima kini dikejutkan dengan sandiwara maut yang sedang dipertunjukkan sang hakim. Dibantu oleh asistennya, si Bongkok, yang tak kalah membingungkan dengan si majikan, berperawakan dan berwajah seaneh bahkan lebih buruk dari sebutannya, membuat psikodrama yang ada, benar-benar nyata tersaji. Melihat kenyataan tak ada jalan keluar, mereka berlima pun mau tak mau harus mengikuti skenario sang hakim. Kelima “terdakwa” tersebut harus melewati malam penantian dengan diliputi ketidakpastian, siapakah yang pantas diantara mereka menjadi korban yang akan mati di pengadilan ala sang hakim. Gambaran masa lalu masing-masing terpampang kembali dengan begitu jelas, tidak sekedar mengulang ingatan, tetapi berusaha menggali makna hidup yang sudah dijalani dengan tetap mempertanyakan seberapa pantas dan untuk apa mereka hidup hingga pertanyaan kematian itu sendiri. Disinilah yang menjadi ciri khas Elie Wiesel dalam setiap karyanya, selalu menyelipkan pertanyaan-pertanyaan berbau filosofis sekaligus religius. Tema-tema seputar kehidupan yang diungkap Wiesel dalam novel ini, seperti pencarian kebenaran filosofis ala Razziel akan sosok spiritualitasnya: Paritus, pengkhianatan akan kejujuran yang dilakukan Bruce terhadap wanita-wanita korban rayuannya. Begitu berharganya kesetiaan anak manusia yang dijalin Yoav dengan istrinya, Carmela, meski kematian diambang pintu, perselingkuhan George dengan Pamela yang jauh dari kesan memberontak. Dan penemuan jawaban hati akan cinta sebenarnya Claudia terhadap David. Kelima penumpang ini, meski berbeda masa lalu, disatukan oleh keadaan yang sama dan satu tujuan; kebebasan untuk meneruskan kehidupan. Suatu hal yang menjadi garis hidup dan perjuangan Elie Wiesel dalam menyuarakan betapa pentingnya arti kemanusiaan. Ironinya, pada titik inilah kemanusian Wiesel dipertanyakan. Ia membungkam ketika pelanggaran kemanusiaan Israel terhadap Palestina mulai dipertanyakan dunia. Ada apa dengan Elie Wiesel? Tidak diragukan lagi, setidak-tidaknya, tema dan setting ranah Yahudi dalam Novel –Sang Hakim- ini, sudah cukup menyiratkan secara implisit garis keberpihakkannya pada bangsa Yahudi. Sungguh ironis, orang yang dipahlawankan dunia karena dengan berani menjadikan kemanusiaan sebagai sahabat, ternyata memilih bersikap diam ketika tragedi yang mengancam kemanusiaan jelas-jelas terjadi di depan mata, justru pada saat ia berada dalam posisi orang bebas, bukan sebagai tahanan pihak manapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar