Rabu, 18 November 2009

Mengatasi Trauma dengan Cinta

Judul : Sheila: Kenangan yang Hilang Judul asli : The Tiger’s Child Penulis : Torey Hayden Penerbit : Qonita, Bandung Edisi : Agustus 2003 Tebal : 528 halaman Jauh di dalam diri setiap manusia terdapat kekuatan yang masih tertidur nyenyak. Kekuatan yang tidak pernah terbayangkan mereka miliki. Apabila kekuatan itu berhasil dibangkitkan dan diaktifkan, kehidupan dengan cepat bisa diubah. Pernyataan psikolog Orison Marden dari Amerika ini tampaknya amat disadari oleh Torey Hayden, seorang guru sekaligus psikolog bagi anak-anak yang mengalami gangguan mental dan emosional, untuk terus menggali potensi luar biasa dibalik ‘ketidaknormalan’ anak didiknya. Berbekal pengalaman menarik yang pernah ia alami, Torey mencoba menuliskan sebagian riwayat kehidupannya, yang sebagian besar ia abdikan dengan gigih untuk “menormalkan” anak-anak didiknya. Lewat tulisan biografi tentang anak-anak yang mengalami gangguan mental dan emosional yang parah itu, Torey berusaha menyajikan fakta yang mungkin selama ini terabaikan oleh kita. Kita terlanjur bahkan cenderung sudah melabelkan cap klinis, anak-anak dengan kondisi demikian dianggap abnormal. Melanjutkan kisah sebelumnya, Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, Torey mencoba menghadirkan kembali tokoh Sheila dalam wujudnya yang lain, seorang gadis remaja usia belasan tahun. Sheila: Kenangan yang Hilang, yang buku aslinya berjudul The Tiger’s Child (1995), diawali dengan kilas balik perjalanan awal Torey Hayden ketika menangani sembilan anak yang masing-masing membawa masalah gangguan emosional dan mental yang berat, dari gangguan bahasa, aktualisasi, kognitif, hingga adaptasi dan sosialisasi dengan lingkungan. Menjadi tokoh sentral dalam cerita Torey adalah Sheila, seorang gadis usia enam tahun dengan masa lalu yang menyakitkan. Gadis cilik itu pernah didorong ke luar mobil oleh ibu kandungnya dan ditinggal pergi untuk selamanya. Ia juga pernah mengalami kekerasan seksual oleh pamannya sendiri. Sementara kekerasan fisik ia terima dari ayah kandungnya yang pemabuk yang atas perbuatannya itu harus lebih banyak tinggal di penjara. Latar belakang keluarga yang berantakan dan penuh kekerasan ini telah melukai jiwa Sheila. Luka itulah yang mendorong perilaku destruktifnya. Pada usia enam tahun ia pernah menculik balita laki-laki dan membakarnya sampai hampir mati. Meskipun hanya mengalami kebersamaan selama kurang lebih lima bulan, namun hubungan yang terjalin antara Torey dan Sheila, telah menimbulkan perubahan dramatis dalam perilaku Sheila. Kini setelah tujuh tahun perpisahan semenjak kelas Torey untuk selamanya ditutup, Sheila kecil telah berubah menjadi gadis empat belas tahun dengan penampilan yang jauh berbeda. Inilah perjumpaan pertama kali Torey dengan bekas muridnya, seorang remaja berpenampilan urakan, berambut keriting warna oranye menyala dan bergaya ala punk. Sungguh berbeda dengan Sheila kecil yang pernah dikenalnya. Torey dihadapkan pada kenyataan bahwa Sheila sekarang sama bermasalahnya dengan Sheila kecil. Torey-pun berusaha untuk mengingatkan kembali masa-masa yang pernah dilalui Sheila kecil dimana ia pernah menjadi gurunya dan berhasil membawanya dari perilaku tak terkendali, meledak-ledak, mudah tidak percaya, mudah tersinggung dan sering membuat gangguan, ke bentuk perilaku lebih akomodatif dan bisa mengendalikan diri. Namun apa yang diharapkan terlalu jauh, Sheila dewasa benar-benar tidak ingat apa-apa, amnesia yang begitu aneh (hal 130). Teka-teki itu mulai terjawab ketika Sheila dilibatkan dalam program sekolah khusus untuk anak-anak dengan gangguan mental dan emosional, persis bentuknya dengan sekolah yang ia dulu pernah menjadi muridnya. Di sekolah itu Sheila menjadi dekat secara emosional dengan salah seorang murid yang menurut orang tua angkatnya ditemukan di jalan. Sheila, seperti diingatkan masa lalunya, begitu mendengar berita anak lelaki tujuh tahun itu akan “dibuang” ke penampungan anak terlantar oleh orang tua angkatnya disebabkan kelemahan fungsi mentalnya, ia memutuskan untuk menculik si anak laki-laki tersebut. Peristiwa penculikan ini membuka kembali memori Torey tentang Sheila kecil. Pengalaman ditinggal ibunya di jalan ternyata demikian membekas dalam diri Sheila. Sebagian besar kenangan masa kecilnya yang penuh trauma itu ternyata tidak benar-benar hilang, tapi hanya ditekan di bawah sadar. Bagian terbesar dari buku ini lebih menunjukkan perjuangan Torey untuk membuka kembali masa lalu Sheila. Dan bangkitnya keberanian Sheila untuk “menonton” kisah hidupnya sendiri. Dan berkat pendekatan “terlibat” dari Torey yang berlandasakan pada sikap empatik dan kasih seorang ibu, Sheila mampu memaafkan masa lalunya. Kesediaan untuk memaafkan inilah yang pada akhirnya menjadi kunci keberhasilan Sheila membuang beban masa lalunya dan menatap masa depan secara lebih optimis. Penekanan selanjutnya dari buku ini terutama diarahkan Torey pada hubungan yang ia jalin dengan Sheila. Hubungan yang tidak hanya sekedar hubungan antara mantan guru dan murid, tetapi lebih dari itu. Hubungan yang hanya bisa dipahami dengan kacamata seorang ibu terhadap anaknya sendiri. Torey berhasil meyakinkan kekuatan hubungan antara ‘ibu dan anak’ ini. Torey jelas dengan sadar berusaha mengkritik pendekatan psikologis yang begitu ketat dan kaku mengontrol perkembangan anak dan remaja awal. Terutama melalui modifikasi perilaku dengan pendekatan pemberian hadiah dan hukuman (reward and punishment). Terlebih lagi jika ini dilakukan terhadap anak-anak yang mengalami gangguan mental emosional. Bagi Torey Hayden, dengan pendekatan layaknya ‘seorang ibu’ terhadap anaknya, anak-anak dengan gangguan kejiwaan akan lebih mudah ditangani. Karena pada dasarnya mereka adalah manusia juga seperti kita. Mereka tidaklah bermasalah, yang bermasalah adalah masyarakat tempat tinggal mereka yang sengaja maupun tak sengaja mengasingkan keberadaan mereka. Bagi praktisi, peminat dan pemerhati masalah anak, psikolog, psikiater, guru, akademisi, hingga relawan tempat singgah, panti asuhan dan lainnya, buku Sheila: Kenangan yang Hilang ini sangat berguna sebagai bacaan penunjang sekaligus pembanding, untuk menentukan langkah terbaik apa yang harus diambil dalam mengintervensi kehidupan anak-anak bermasalah. Tujuan akhirnya adalah memposisikan kembali anak-anak dengan gangguan mental emosional seperti layaknya kehidupan kita sendiri, karena mereka adalah bagian dari masyarakat dan bukannya diluar sistem masyarakat yang harus dipisahkan, terlebih lagi dianggap “gila”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar