Jumat, 04 Desember 2009

Namanya Nadhifa Aqila Zahirani.....

Namanya Nadhifa Aqila Zahirani bos.....begitu tulisan pesan singkat itu terbaca. Hmmm nama yang indah......aku tanya lagi, balas kirim pesan singkat...artinya apa yach......Nadhifa artinya bersih hati, sifat dan cantik. Aqila artinya banyak akal atau cerdik. Zahirani artinya nasib selalu gemilang. Itu arti namanya anakku bos..... Semoga....AMIIIIN....dr orang yang mulai sejak engkau dilahirkan ke dunia ini hingga nantinya akan engkau panggil paman ...wahai ponakanku.....

Minggu, 29 November 2009

MEMBONGKAR SEJARAH RASISME

Judul : Rasisme: Sejarah Singkat Judul asli : Racism: A Short History Penulis : George M. Fredrickson Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : Pertama, Maret 2005 Tebal : 272 hal +xviii
Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat perbedaan secara fisik. Hal ini wajar karena manusia dilahirkan dengan membawa gen bawaannya masing-masing. Namun apabila dari perbedaan ini sampai memunculkan prasangka, walhasil bisa mengakibatkan fungsi bermasyarakat kita menjadi terganggu. Apapun nama dan bentuk dari prasangka ini, kesemuanya bermuara pada apa yang disebut rasisme.
Istilah “rasisme” sering kali kita gunakan untuk melukiskan permusuhan dan perasaan negatif suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain. Kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari, rasisme justru berkembang luas berikut implikasinya. Sikap antipati (dislike) terhadap suatu kelompok, tidak lagi sekedar wacana, tetapi sudah menjurus pada sikap dan pola perilaku destruktif, melebihi prasangka awalnya. Yang terakhir ini, bagaimanapun bentuk dan polanya, boleh dikatakan merupakan cacat kemanusiaan paling universal.
Hitler tanpa merasa bersalah, telah menggunakan teori-teori rasis untuk membenarkan pembantaian massal yang ia lakukan terhadap orang-orang Yahudi Eropa, demi alasan menjaga kesucian bangsa, tepatnya perempuan-perempuan Jerman dari pengaruh kooptasi dan pencampuran Yahudi. Pun hal ini juga dilakukan para penguasa di Amerika Selatan dengan menerapkan hukum Jim Crow yang membatasi pergerakan kulit hitam demi menjaga kemurnian supremasi kulit putih. Dan belakangan politik Apartheid di Afrika Selatan adalah contoh sejenis bagaimana rasisme berkembang hingga sekarang dan bisa terjadi dimanapun.
Konsep modern tentang rasisme sebagai pembedaan manusia berdasar klasifikasi ciri-ciri fisik (terutama warna kulit) tidaklah ditemukan sampai abad kedelapan belas. Istilah untuk ”ras” dalam bahasa-bahasa Eropa Barat berkaitan dengan peternakan hewan dan hubungan-hubungan aristokratis. Pada tahun 1611, sebuah kamus Spanyol menyertakan definisi-definisi atas raza, suatu penggunaan sebutan yang bersifat menghormati “suatu kasta atau kualitas kuda-kuda asli” dan penggunaan yang bersifat merendahkan, yang mengacu pada silsilah yang meliputi nenek moyang bangsa Yahudi atau Moor.
Rasisme secara harfiah untuk pertama kalinya digunakan secara umum pada tahun 1930-an, ketika doktrinasi ilmiah adalah penting untuk menggambarkan teori-teori yang digunakan Nazi sebagai dasar holocaust-nya terhadap orang Yahudi. Sejak saat itu istilah rasisme begitu populer untuk mewakili sikap tidak menyukai terhadap kelompok lain. Namun, fenomena rasis sebenarnya sudah ada jauh jauh hari sebelum istilah rasisme digunakan. Dan pengertian yang ada, tidak melebihi daripada sejenis prasangka kelompok yang didasarkan pada kebudayaan, agama, atau ranah kekerabatan dan kekeluargaan semata.
Dalam buku –Rasisme: Sejarah Singkat- ini yang merupakan alihbahasa dari buku Racism: A Short History, George M. Fredrickson, sang penulis, menyadari betul bahwa rasisme bukan sekadar suatu sikap atau sekumpulan kepercayaan yang terpatri dalam masyarakat. Rasisme mengungkapkan diri pada praktik-praktik, lembaga, dan struktur yang dibenarkan dan diakui oleh suatu perasaan berbeda yang mendalam. Lebih jauh rasisme bisa membentuk suatu tatanan rasial, tidak sekadar berkubang dalam teori tentang perbedaan manusia. Inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa rasisme selalu beriringan dengan apa yang disebut kekuasaan.
Dengan merunut perspektif historis, Fredrickson berusaha menggambarkan secara ringkas kisah pasang surut rasisme (meskipun, sayang, belum keruntuhannya) sejak Abad Pertengahan hingga sekarang. Dalam uraian ilmiahnya ini, Ia meletakkan posisi rasisme melebihi konsepsi awalnya, dan begitu jelas perbedaanya dengan bahasan kulturalisme. Menurutnya mengkonstruksi kebudayaan secara historis, yang bisa berubah seiring ruang dan waktu, sama saja menciptakan antitesis konsep ras itu sendiri.
Kekuasaan sebagai legitimasi legal para penguasa, acapkali dijadikan ”pembenar” penyusupan ideologi dan penanaman hegemoni rasis dalam struktur masyarakat. Tidak sekadar pembedaan pada unsur dominan yang ada, seperti ras, agama, dan budaya, tetapi sudah menjangkau pada ranah yang sebenarnya tidak bisa diutak-atik lagi karena merupakan kodrati dari Tuhan, seperti gender. Pembedaan gender hingga sekarang masih bisa kita temukan di dalam masyarakat kita. Perempuan lebih dipandang sebelah mata sebagai makhluk yang secara fisik dan sosial lebih tidak dominan dibanding kaum laki-laki.
Ketika perlakuan yang timpang terhadap rakyat yang didasarkan pada ras dibirokratisasikan dan “dirasionalisasikan” dalam pengertian Weberian, orang dapat mengatakan bahwa rasisme telah dimodernisasikan. Hasil rezim rasis yang paling mematikan, Holocaust, memerlukan lebih dari sekedar ideologi dan sentimen antisemit. Holocaust tergantung sepenuhnya pada metode-metode birokrasi modern dan teknologi maju.
Dan setidaknya rasisme modern dengan kekuasaan sebagai tangannya selalu ditunjang adanya ideologi resmi yang jelas-jelas rasis yang dipraktikkan melalui hukum-hukum yang melarang perkawinan antar-ras. Kemudian segregasi sosial telah dilegalkan dan jika pemerintahan itu secara formal bersifat demokratis, anggota-anggota kelompok luar disingkirkan dari pemangkuan jabatan publik atau pelaksanaan hak suara. Pada akhirnya, akses yang dimiliki terhadap berbagai sumber daya dan peluang ekonomi begitu terbatas sehingga sebagian besar tetap berada dalam kemiskian atau sengaja dimiskinkan.
Pada bulan September 2001, Perserikatan Bangsa-Bangsa mensponsori suatu Konferensi Dunia mengenai Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenofobia, dan Intoleransi yang terkait di Durban, Afrika Selatan. Penggunaan istilah yang begitu banyak ini apakah petanda adanya semacam keraguan untuk memaknai atau mewakili semua permusuhan dan penindasan yang memprihatinkan yang sering terjadi. Menyadari bahwa rasisme yang telah mundur pada paruh abad silam sebagai akibat dari Holocaust dan penumbangan Jim Crow di Amerika Serikat dan Apartheid di Afrika Selatan-- apakah ini berarti konferensi PBB tersebut dapat dipandang sebagai sejenis pidato perpisahan kepada suatu “zaman rasisme”.
Semua rezim rasis itu telah ditumbangkan, dan ideologi-ideologi yang menjadi landasannya agaknya telah bangrut. Tetapi persolan terakhir yang harus dihadapi didalam epilog ini ialah apakah kematian mereka juga berarti bahwa virus-virus rasisme juga telah dimusnahkan ataukah virus itu hanya bermutasi menjadi bentuk-bentuk baru dan tetap ganas. Sebagai warisan ideologi kolonial, rasisme harus terus diwaspadai, karena ia selalu siap meracuni sendi-sendi bermasyarakat dan melunturkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sabtu, 28 November 2009

MELEJITKAN POTENSI OTAK DENGAN CARA ASYIK

Judul : Cara Baru Mengasah Otak dengan Asyik Judul asli : Building Mental Muscle: Conditioning Exercises for The Six Intelligence Zones Penulis : Allen Bragdon & David Gamon, Ph.D. Penerbit : Kaifa, PT. Mizan Pustaka Cetakan : I, Oktober 2004 Tebal : 292 hal. Pada tahun 1848, sebuah peristiwa paling dramatis terjadi di area pembangunan rel kereta api. Phineas Gage, seorang mandor pegawai konstruksi yang masih muda, harus menerima kenyataan lain. Sebatang besi menusuk rahang atasnya dan menembus hingga wilayah korteks pra-depan (otak bagian tengah-depan), dan keluar dari keningnya. Meskipun dia bertahan hidup dan, dapat dikatakan sembuh secara menakjubkan, dia telah berubah menjadi orang yang berbeda. Gage yang sebelumnya dikenal bertanggung jawab dan lembut bicaranya, kini menjadi bermulut kasar, aneh, dan tidak perhatian kepada orang lain. Dari hasil rekonstruksi komputer tengkorak Phineas Gage yang hidup selama 14 tahun semenjak peristiwa tragis yang dialaminya, diidentifikasi ada bagian otaknya yang hilang. Hal ini akibat tusukan batang besi yang mengenai korteksnya dan mengeluarkan bagian otak tersebut. Belakangan diketahui bagian otak yang hilang itu adalah cuping depan otak yang dikenal mempunyai fungsi “eksekutif”. Fungsi yang memungkinkan pemain catur meramalkan hasil-hasil gerakannya dan kita menggunakannya untuk merencanakan cara-cara menjalankan berbagai tugas dan berhubungan dengan orang lain. Fungsi eksekutif adalah salah satu dari enam zona kecerdasan pada otak kita. Lima zona kecerdasan lainnya adalah zona ingatan, zona emosional, zona bahasa dan matematika, serta zona spasial. Zona-zona kecerdasan ini satu sama lain saling berkesinambungan dan berhubungan. Faktanya, hampir sebagian besar peristiwa di dunia nyata paling mudah ditangani dengan mengerahkan berbagai ketrampilan, tidak hanya satu. Semisal dalam menghitung besarnya pengeluaran, kita dituntut tidak hanya mengandalkan kemampuan matematika, tetapi juga ingatan kita terhadap apa-apa yang telah dikeluarkan. Otak kitalah yang membuat kita tetap hidup. Otak menuntun kita menemukan jalan masuk kehidupan, membuka pintunya, menyusuri teka-teki antara harapan dan kenyataan, mencari solusi dan pada akhirnya menjadikan kita manusia yang tangguh, lebih kuat, lebih gesit, dan lebih tangkas. Namun, otak yang sangat menakjubkan ini dapat berkarat dan cepat usang. Jika sel-sel otak -yaitu yang membawa pesan-pesan pembentuk kehidupan kita- tidak digunakan, mereka mendapatkan pesan bahwa kita tidak membutuhkan mereka. Sel-sel itu akan menyingkir dan mengerutkan “jari-jari” dendritnya, dan pada akhirnya kemunduran otak tidak bisa dihindari. Menjaga agar sel-sel otak tetap aktif dengan menggunakannya secara teratur dalam kehidupan dapat mencegah kemunduran secara kognitif. Ibarat frasa: Use it or lose it, ini adalah hukum alam. Layaknya otot, otak perlu dilatih agar tidak kendur dan semakin kuat. Melalui buku ini, buku berjudul: Cara Baru Mengasah Otak dengan Asyik, Allen Bragdon menyajikan temuan-temuan mutakhir mengenai cara beroperasinya enam zona kecerdasan kita. Buku ini memuat laporan-laporan pendek hasil-hasil penelitian akademis bidang neurosains terutama mengenai berfungsinya otak manusia. Menariknya, buku yang berjudul asli Building Mental Muscle: Conditioning Exercises for The Six Intelligence Zones (1998) ini dilengkapi tes-tes serta latihan-latihan mental yang terkait dengan setiap laporan. Latihan-latihan yang disajikan merupakan tantangan yang sangat menarik, karena disajikan dalam bentuk teka-teki/puzzle dengan tampilan yang menghibur dan terkesan menyenangkan. Apalagi topik-topik yang ada dapat dimanfaatkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari dan jauh dari kesan runtutan latar belakang ilmiah. Semua ini dirancang oleh A. Bragdon, pendiri majalah Games, bersama David Gamon, pakar pendidikan dari universitas California Berkeley. Zona kecerdasan yang pertama adalah fungsi eksekutif dan sosial. Ia berfungsi dengan cara yang benar-benar khas manusia: menjalankan rencana-rencana untuk masa depan dan membina interaksi sosial dengan lingkungan. Letak fungsi ini ada di bagian depan korteks otak yang membedakan kita dengan makhluk lain (hewan). Zona inilah, ternyata, yang paling bertanggung jawab atas kesadaran diri, kemampuan untuk berintrospeksi, merenung, dan menimbang tindakan-tindakan yang tepat. Cedera pada zona ini bisa mengakibatkan kehilangan emosi dan juga kemampuan untuk membuat keputusan, mirip yang dialami si pemuda Gage. Fungsi kecerdasan kedua adalah ingatan. Zona ingatan ini merupakan komponen semua ketrampilan kognitif. Otak menyandikan beberapa jenis pengalaman secara permanen, langsung, dan tanpa usaha sengaja. Pengalaman yang dianggapnya bermanfaat disimpan di dalam korteks, sering di dekat area indra yang mencatat pengalaman tersebut. Gangguan awal pada fungsi ingatan biasanya dimulai dengan ketidakmampuan untuk mengingat kejadian-kejadian yang belum lama berlalu. Menurut pandangan tradisional, otak dan emosi adalah dua hal yang sangat berbeda, bahkan cenderung bersaing satu sama lainnya. Namun neurosains membuktikan kebalikannya dengan mengungkapkan adanya lokus di dalam otak yang berisi indra-indra emosional kita, dan jalur-jalur saraf yang menghubungkan emosi dengan fungsi-fungsi “intelektual” pikiran. Emosi yang dalam strukturnya bergantung pada otak itu sendiri, memainkan peranan sangat penting dalam pembentukan ingatan. Dan sesungguhnya, ingatan-ingatan emosional sangat sulit dihapuskan, meskipun ingatan yang sangat traumatis dapat dibuang dari pikiran sadar, tetapi mereka akan muncul kembali bertahun-tahun kemudian pada masa-masa stres. Emosi terkait erat dengan pemahaman, dan dengan pemeliharaan kesehatan sel-sel otak serta sistem imun tubuh kita. Zona kecerdasan keempat yang kita miliki adalah fungsi bahasa. Bahasa merupakan indra alamiah yang menyatukan semua manusia. Sifat indra bahasa yang rumit dan misterius, menjadikannya perbedaan-perbedaan tingkat pemahaman dan penguasaan bahasa masing-masing individu. Dewasa ini berdasar bukti yang ditemukan, adanya kemauan sepanjang hidup untuk mempelajari dan mengembangkan kemampuan linguistik, dapat membantu kita menjaga sel-sel otak berfungsi dengan baik, bahkan bisa membantu mencegah penyakit Alzheimer. Kerusakan pada zona bahasa ini bisa menyebabkan hilangnya beberapa ketrampilan bahasa tertentu seperti berbicara, menulis, pemahaman makna kata-kata, dan kemampuan mengenali objek. Matematika bagi kebanyakan orang sering menjadi “momok” dan cenderung untuk dihindari. Padahal disadari atau tidak, sesungguhnya kita semua disatukan oleh tingkat kemampuan aritmetika dasar yang sama. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhadapan dan tidak terlepas dengan persolan-persolan matematis. Membiarkan ketajaman matematika otak kita sama dengan membuat kita “tidak pandai matematika”. Kecerdasan matematika ini cenderung berfluktuasi sesuai dengan suasana hati dan kewaspadaan mental kita. Karena itu, tidur yang baik dan jenis nutrisi yang tepat sangat penting bagi kinerja matematika. Fungsi kecerdasan yang terakhir adalah kemampuan spasial, yaitu kemampuan dari menangkap detail, pembentukan pola-pola dari detail yang ada, hingga mencocokkan pola-pola tersebut berdasar pengertian pengetahuan yang ada. Dengan kata lain adalah kemampuan kita memahami pola-pola dibalik ruang tiga dimensi. Seperti zona kecerdasan lainnya, fungsi visio-spasial dapat dipertahankan atau dibiarkan memburuk. Dengan membiasakan diri melatih otak (ibaratnya melakukan senam otak), berarti ada usaha untuk merangsang sel-sel di berbagai zona otak kita tetap aktif. Tidak sekadar empat sehat lima sempurna dengan nutrisi yang cukup dan tidur yang baik, otak juga perlu nutrisi dalam bentuk mengasyikkan. Dan melalui permainan-permainan yang disajikan dalam buku ini, niscaya pasti akan kita temukan kudapan lezat untuk otak kita. Jadi, tunggu apalagi. Asah otakmu, gunakan otakmu atau kau akan kehilangan dia!

Menapaki Bisnis di Jalan Tuhan

Judul : Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin: Pengalaman Berbisnis dengan Sandaran Al-Quran Penulis : Basuki Subianto Penerbit : Al-Bayan, PT. Mizan Pustaka Cetakan : I, Oktober 2004 Tebal : 264 hal. Dunia bisnis oleh sebagian orang seringkali diidentikkan dengan dunia yang penuh persaingan, yang setiap saat antara pelaku bisnis bisa saja saling menjatuhkan. Berbagai carapun dilakukan agar para pesaingnya tidak bisa berkembang. Intrik dan permainan kotor adalah hal biasa yang bisa saja terjadi dalam dunia bisnis. Tak heran, orang-orang yang berjibaku didalamnya, mau melakukan segala usaha agar tujuannya tercapai. Prinsip ekonomi menjadi visi dan misi mereka, tak peduli jalan yang harus dilalui apakah dibenarkan atau tidak oleh etika dan aturan yang ada. Pertanyaannya sekarang, apakah memang demikian dalam menjalankan bisnis harus melakukan cara-cara yang dari segi norma, etika, dan lebih-lebih oleh agama sangat tidak dianjurkan? Tidak adakah bisnis yang lebih bermanfaat, baik secara sosial, ekonomi, dan etika, yang dapat mengantarkan para pelakunya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat? Tidak sedikit pebisnis yang justru dengan idealisme dan kesadaran yang dimilikinya, sebagai makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan juga sebagai makhluk Tuhan, berani menentang arus yang selama ini terbiasa dan menjadi hal biasa dalam dunia bisnis. Mereka yang disebut oleh Gay Hendricks sebagai orang-orang suci. Orang yang dengan beraninya berperilaku jujur dan lurus di perusahaan-perusahaan. Mereka sangat menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai spiritual. Mereka tidak sekedar “memainkan” uangnya, melainkan juga hati dan jiwa mereka dalam bekerja (The Corporate Mystic, 1996). Di jaman yang penuh persaingan ini, memang dituntut kepekaan dalam membaca dan menganalisa setiap perkembangan yang ada termasuk dalam dunia bisnis. Baik itu membaca setiap peluang dan kesempatan pasar dalam menetapkan strategi pemasaran (marketing plan), hingga pengambilan kebijakan dalam berinvestasi dan mengembangkan usaha baru serta memunculkan inovasi dalam pengembangan produk baru. Mereka yang tergambar sebagai penentang arus dalam dunia bisnis ini, adalah orang yang dianugerahi intuisi tajam. Orang menyebutnya sebagai indra keenam atau wangsit Illahi (bisikan Tuhan). Dari intuisi ini, seorang pebisnis bisa mengambil keputusan tepat dalam memilih orang yang cocok untuk dilibatkan dalam mengorganisasi gerak perusahaan, menjalankan visi, dan berkomitmen dalam kemajuan. Lewat intuisi pulalah seseorang bisa mengambil keputusan, kapan “memainkan” uangnya untuk berinvestasi dan memulai berbisnis. Pada dasarnya setiap orang memiliki intuisi ini, akan tetapi kualitasnya berbeda satu dengan lainnya. Tergantung setiap orang untuk mau dan terus-menerus mengasah dan mempertajam intuisinya. Makin tajam intuisi seseorang, keputusan yang diambil dipastikan memuat “kebenaran” dan terarah. Hal inilah yang melecut semangat seorang Basuki Subianto, mantan wartawan media cetak nasional, untuk memberanikan diri mengubah haluan dari jalur yang selama ini ia tekuni. Basuki Subianto, lewat bukunya yang berjudul Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin: Pengalaman Berbisnis dengan Sandaran Al-Quran ini, berusaha mengungkapkan fakta-fakta yang selama ini dianggap tidak mungkin oleh kebanyakan orang. Menurutnya, dalam menjalankan bisnis tidak selamanya harus ‘abu-abu’ bahkan cenderung serba ‘gelap’. Harus ada cahaya penerang yang menuntun setiap gerak pebisnis dalam menjalankan usahanya. Basuki Subianto sendiri adalah seorang anak petani yang merantau ke Surabaya pada masa revolusi. Pengetahuan agamanya terbatas, sekedar mendengar ceramah agama di masjid, radio dan pendidikan sekolah umum. Ia mulai meretas jalan hidupnya saat ia duduk dibangku kuliah semester dua, ketika ia memasuki dunia kewartawanan di kampus. Dedikasinya yang tinggi pada dunia pers mengantarkannya menjadi bagian dari “tim sukses” berbagai media cetak di tanah air. Posisi wartawan hingga pemimpin redaksi, pernah dinikmatinya. Di dalam buku ini, Basuki Subianto ingin berbagi pengalaman sebagai orang yang berani mengambil resiko, mempertaruhkan pekerjaan mapan yang ia geluti selama lebih 17 tahun di dunia bisnis surat kabar. Dalam dunia bisnis, tidak ada satu keputusan yang tidak mengandung resiko. Manusia diberi akal untuk menganalisis kemungkinan risiko itu agar tidak merugi. Tujuannya satu, ia ingin membuktikan prinsip esensial Al-Quran dalam berbisnis. Buku pertama Robert T. Kiyosaki berjudul Rich Dad Poor Dad turut memberi andil dalam mempengaruhi dirinya untuk mengambil resiko beralih haluan menjadi pengusaha. Buku Kiyosaki ini memang membakar semangat sekaligus memprovokasi siapapun. Kiyosaki seolah-olah berseru: berhentilah menjadi karyawan, beralihlah menjadi pengusaha. Sebagai pengusaha, penghasilan jelas akan menjadi lebih besar dan sekaligus memiliki perusahaan. Sungguh gambaran yang menggiurkan!. Bagian terpenting dari buku Basuki Subianto ini adalah spirit yang terkandung dibalik peristiwa pengunduran dirinya dari jajaran direksi Kompas, tempat ia bekerja selama ini. Saat itulah ia memperkenalkan konsep Impossibility Quotient (ImQ) sebagai alasan pengunduran dirinya. Sebuah konsep yang berbeda dengan konsep kecerdasan pendahulunya, seperti IQ, EQ dan SQ, namun ImQ ini menaungi dan melengkapi ketiganya. Sebuah konsep yang menjelaskan betapa pancaindra manusia sangat terbatas. Apa yang menurut manusia mungkin terjadi, ternyata tidak. Dan, yang tidak mungkin menurut manusia, bisa saja terjadi. Impossibility Quotient (ImQ) adalah strategi untuk memaksimalkan kecerdasan manusia dalam mencapai tujuan. Caranya tidaklah cukup dengan pancaindra, namun harus juga digerakkan dengan hati yang bersih. Apa yang tidak mungkin oleh pancaindra, menjadi mungkin hanya dengan hati yang bersih. Demikian juga sebaliknya. Alhasil, intuisi kita terus mengalir mengikuti kata hati, mencari kebenaran, hingga menemukan kebenaran hakiki. Konsep ImQ inilah yang menjadi pegangannya, sekaligus mematahkan pemikiran Kiyosaki, yang menganggap menjadi pengusaha hanya semata untuk mencari uang dan uang saja (kebahagiaan lahir). Buku ini lebih tepat disebut sebagai buku biografi-kontemplatif, karena dalam buku ini Basuki Subianto memaparkan berbagai pengalamannya semenjak ia mulai menekuni dunia jurnalistik hingga berputar 180 derajat menjadi pengusaha real-estate. Dari pengalamannya menimba ilmu hikmah dari sang guru, ia menyebutnya sebagai ”bapak Ustad”, seorang ulama yang pernah berbisnis tetapi kemudian memutuskan kembali ke dunia pesantren, hingga pengalamannya sendiri dalam bergelut dengan dunia bisnis. Istimewanya, semua pengalaman berbisnis yang termuat dalam buku ini, adalah hasil perenungan dan proses justifikasi akan kebenaran Al-Quran dan sangat cocok sebagai bahan perenungan bagi para pelaku usaha atau siapapun juga, tak peduli agama dan keyakinan yang dianutnya. Buku ini ingin mengingatkan tentang keseimbangan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak, agar siapapun kita senantiasa mengasah intuisi dengan berperilaku jujur, berbagi dengan sesama, dan dengan hati yang bersih. Dan ImQ adalah strategi mengambil hikmah Al-Quran untuk mendapatkan cahaya dalam kegelapan, tidak hanya dunia bisnis, tetapi untuk semua kehidupan ini.

Simfoni Mozart: Sebuah Ritme Konflik Abadi

Judul : Mozart: Simfoni Hidup Sang Maestro Judul asli : Mozart Penulis : Peter Gay Penerbit : Bentang (PT Bentang Pustaka) Cetakan : I, April 2005 Tebal : 236 hal +viii Diantara para maestro musik klasik, nama Mozart tentunya sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang. Mozart adalah salah satu icon musik klasik abad pertengahan, disamping terdapat juga nama Johann Christian Bach, dan Beethoven, yang sangat berpengaruh pada perkembangan musik kontemporer dewasa ini. Karya-karya Mozart, sebagian besar berupa simfoni dan opera, diakui memiliki cita rasa dan daya kreativitas yang tinggi. Bahkan, ada banyak hasil penelitian mutakhir yang mengakui “keampuhan” musik Mozart dalam menstimuli perkembangan kecerdasan intelektual dan emosional manusia. Sebagian besar penikmat musik klasik, menilai Mozart adalah gambaran kesempurnaan sebuah aktualisasi diri yang meletup-letup yang menghasilkan simfoni-simfoni menawan dan opera-opera yang membius. Dalam umurnya yang relatif singkat, ia telah banyak menghasilkan komposisi seperti konserto, sonata, musik kamar, opera-opera, hingga musik misa. Suatu tingkat kesempurnaan, atau boleh disebut bakat Ilahi, yang hanya bisa ditandingi oleh sedikit komposer. Tak aneh bila sepanjang ritme kehidupannya menjadikan ia laiknya seorang selebriti yang tentu saja tidak terlepas dari cerita-cerita tak jelas, sebuah citra yang penuh rumor, bahkan cenderung mendramatisir. Upaya-upaya ilmiah para penulis biografi modern tidak juga mampu menepis citra yang selalu muncul di benak para penggemar musik ketika mendengar nama Mozart disebut. Mozart dewasa yang masih bersifat kekanak-kanakan, maestro yang begitu memesona sehingga tak perlu mempertanyakan kredibilitasnya, seorang komposer sempurna yang tak perlu merevisi satu nada pun dalam karyanya, hingga isyarat kematiannya yang tersimbolkan lewat lagu kematian (requiem), dan seorang gelandangan yang ketika mati dikubur di pemakaman orang-orang miskin. Ilustrasi kehidupan Mozart di atas kebanyakan lebih merupakan distorsi ketimbang keterangan yang dibuat-buat. Sebanyak rumor yang melingkupi sang genius, banyak penggemarnya menuntut agar tokoh dengan bakat luar biasa ini, menjalani hidup yang luar biasa pula, penuh peristiwa-peristiwa penting dan dramatik, dan tentu saja prestasi gemilang yang tak tertandingi, bahkan tak terbayangkan oleh orang awam. Namun, kehidupan musik Mozart telah cukup mengagumkan tanpa perlu diimbuhi keterangan-keterangan palsu, reputasinya sebagai seorang genius tak kan tergoyahkan oleh fakta-fakta remeh. Mozart adalah seorang genius, sebuah predikat yang tak mungkin ditolak oleh penulis biografi paling objektif manapun. Bahkan komposer kenamaan pada jamannya, Joseph Haydn, menyebutnya sebagai komposer terbesar layaknya intan permata. Beethoven pun pernah menyanjung karya-karya Mozart sebagai tak tertandingi. Dilahirkan pada 27 Januari 1756 di Salzburg, Austria, Wolfgang Mozart adalah anak ketujuh (bungsu) dari pasangan Leopold dan Anna Maria. Lima saudara kandungnya meninggal semasa bayi, dan hanya seorang kakak perempuan yang berhasil hidup. Nannerl, biasa dipanggil, empat tahun lebih tua dari Mozart. Ayah Mozart, Leopold, adalah seorang musisi profesional yang berpendidikan tinggi. Bekerja sebagai violis dan asisten konduktor pada pangeran-uskup di Salzburg. Latar belakang keluarga yang pencinta musik (lebih tepatnya talenta sang ayah), membuat Mozart lebih “cepat” menemukan bakat besarnya. Mozart memulai pendidikan musiknya di rumah. Ketika sang ayah mengajari Nannerl, sang kakak, cara bermain harpsichord (sejenis piano), Mozart usia tiga tahun, terdorong untuk mencoba instrumen ini sendiri. Bahkan buku catatan berisi lagu-lagu sederhana yang sedianya dimiliki Nannerl, segera saja berpindah kepemilikannya ke Mozart kecil. Setelah berusia lima tahun, Mozart melakukan sebuah lompatan tak lazim, dari pemain musik menjadi pencipta musik. Menjelang tujuh tahun, ia sudah mahir memainkan biola. Bahkan menulis sonata-sonata yang diiringi biola, harpsichord, dan instrumen lain, dicapainya saat belum genap delapan tahun. Sebuah prestasi yang tak biasa yang begitu luar biasa yang tidak mungkin dilakukan oleh anak seumur pada jamannya. Dengan memakai simfoni yang ia buat pada usia tujuh tahun, Mozart memulai debut perdananya dalam penulisan opera La finta semplice, saat ia berusia dua belas tahun. Baru pada 1773, Mozart yang berumur tujuh belas tahun, telah menggubah lebih dari dua puluh enam simfoni, dan disinilah kegeniusannya sebagai komposer musik tampak. Nomor 29 dalam A Mayor (K.201), yang kaya materi tematis orisinal, merupakan sebuah karya yang monumental yang hingga detik ini dikenal dengan baik dalam repertoar orkestra modern apa pun. Namun, dibalik kegeniusannya, ada semacam keraguan untuk mempertanyakan orisinalitas improvisasi dan komposisi musiknya, bahkan tentang kehidupan sang maestro yang dianggap tidaklah seindah simfoni ciptaannya. Ada nuansa suram yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan penuh ketenarannya. Melalui buku ini, Mozart: Simfoni Hidup Sang Maestro, Peter Gay, sejarawan dan penulis yang pernah memenangi penghargaan National Book Award, mencoba menunjukkan kepada kita sisi lain Mozart apa adanya. Mozart dalam usianya yang relatif singkat telah menghasilkan begitu banyak karya, sebanyak pujian dan ketenaran yang didapatnya, adalah seorang anak yang haus kasih sayang. Sekalipun bersama kedua orangtuanya, kakaknya, dan menjadi pusat perhatian saat ia mengadakan tur-tur konsernya dari London, Wina sampai Milan, ia tampak kesepian dan merana. Meskipun ia mendulang sukses yang berimbas pada kondisi keuangannya, namun tidak diimbangi hubungan baiknya dengan sang ayah. Ayahnya dikenal terlalu menuntut, egois dan cenderung turut campur segala urusan anak-anaknya. Penerimaan yang kurang Leopold terhadap istri Mozart, bahkan terhadap anak-anaknya, adalah bukti ketidakpedulian sang ayah yang disatu sisi begitu mengelu-elukan kehebatan Mozart. Dominansi Leopold terhadap Mozart, berimbas pada gaya hidup sang putera yang memutuskan tinggal di Wina. Tampaknya konflik sepanjang hidup dengan ayah kandungnya adalah pemantik dari segala “kegagalan” jalan hidup sang genius ini. Pertentangan psikologis ini berujung pada penolakan Mozart terhadap “nasihat-nasihat” sang ayah. Mozart cenderung menghamburkan uang hasil konsernya untuk memenuhi standar gaya hidupnya yang boros, tetapi sedikit untuk urusan sehari-hari keluarganya. Agaknya masalah materi menjadi persoalan penting dan “kemiskinan” materilah yang membuat Mozart menderita sekali. Ia terjerat hutang, mengubah Mozart menjadi sosok yang patut dikasihani. Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, lewat surat-suratnya pada teman-temannya, ada indikasi ia mengalami stres yang membuatnya terpuruk tak berdaya, yaitu hancurnya kepercayaan diri. Mozart mengalami “kemurungan jiwa yang mengenaskan”. Kepergian sang ibu yang kemudian disusul sang ayah, guru sekaligus “musuh utamanya” untuk selama-lamanya semakin membuatnya depresi. Hebatnya, meskipun tercabik-cabik oleh kesengsaraan dan dihantui oleh “pikiran-pikiran buruk” (mengidap paranoia), daya cipta Mozart tak pernah surut. Justru pada masa ini, karya-karya terbesar Mozart lahir dan semakin mengukuhkan kepiawaian dan eksistensinya sebagai komposer. Daya kreatif Mozart yang menggebu, agaknya disulut oleh konflik intern ayah dan anak. Jika benar demikian, lalu bagaimana sang maestro ini “menjembatani” konflik yang ada dengan kreativitas bermusiknya? Dengan semangat dan sentuhan cerdas dalam opera-operanya memperlihatkan bahwa perseteruan antara seorang ayah (atau figur ayah) dan seorang anak (biologis atau psikologis) telah mendorong Mozart untuk mengolah implikasi-implikasi dari konflik tersebut. Ciri-ciri figur ayah dalam naskah-naskah operanya yang ia terjemahkan ke dalam musik sangat bervariasi, kerap kali seorang ayah dijadikan sosok ideal, tetapi dalam kesempatan yang lain dihinakan, dikalahkan, atau digambarkan suka merusak diri sendiri. Akhir kehidupan Mozart, seperti awalnya, berkembang menjadi suara-suara sumbang yang tak berkesudahan. Kecepatannya dalam berimprovisasi yang lebih menggila di tahun terakhirnya, adalah sebuah tanda tentang suasana batinnya. Ada bukti kuat bahwa ia memanfaatkan aktivitas menggubah musik sebagai obat pengurang rasa sakit, sebagai obat atas kesedihannya dan penderitaannya dalam kesendirian di tengah gegap gempita ketenarannya. Isyarat kematiannya oleh kebanyakan penulis biografi, dihubungkan dengan karya terakhirnya, menggubah misa kematian (requiem), meskipun tak terselesaikan. Namun ini sudah dianggap sebagai petanda bahwa sang maestro harus mengakhiri simfoni-simfoninya. Mozart meninggal pada 5 Desember 1791 saat berusia 35 tahun. Meninggalkan ketenaran menuju misa abadi yang diiringi simfoni musik kesepian dan kehampaan. Simfoni sebuah ritme konflik yang tak berkesudahan antara ayah dan anak.